Frames, Green, Rustle and Sweet Tea

Archive for 7 February 2011

Saat-Saat Aku Membenci Mama

Tulisan yang terisnpirasi dari buku: For One More Day, by Micth Albom. Didasari dari kisah nyata semasa saya kecil yang disajikan secara fiksi. Untuk semua Ibu, please enjoy… semoga! 😀

 

 

Aku segera mengancingkan seragam putih yang masih bisa kucium wangi sabunnya. Kemudian disusul celana pendek warna merah dan dasi kusam bertali karet. Hari itu hari senin, hari saat upacara bendera dilaksanakan, 30 menit lebih awal dari hari biasa, dan aku melakukan kesalahan besar pagi itu. Bangun terlambat.

 

Rambutku masih basah kuyup. Ku raih tas ransel warna merahku, topi yang tergantung dan kaos kaki dari dalam lemari yang digulung menyerupai bola. Aku sekilas melihat mama hilir mudik di dapur. Ini tidak akan sempat! Aku sempat melihat wajah mama yang ikut panik mendengar derap langkahku di dalam rumah. Aku segera menyeret sepatu yang sudah kucuci hari minggu kemarin dari rak dekat pintu belakang.

 

“Sarapan dulu…” Mama mencoba tenang.

“Ma, aku terlambat” Aku melotot  sempat tidak percaya kalau dia masih sempat memintaku untuk sarapan, seperti biasa.

“Nggak ! Kamu harus sarapan”

“Nggak!”

Bagaimana mungkin aku bisa sarapan, sedangkan aku mungkin tidak akan sempat mencapai sekolah tepat waktu.

“OK, Mama yang suapin”

 

 

Pagi itu mataku hampir berair karena aku tahu aku saat itu benar-benar terlambat. Mama masih menyuapiku, tepatnya memaksaku untuk mengunyah isi piring sarapanku. Mulutku masih meraung-raung sambil mengenakan kaos kaki dan sepatu.

 

“Nggak telat kok, bilang ke gurumu, mama yang suruh sarapan dulu”

Mama membela diri dengan sesuatu yang sudah pasti tidak mungkin aku lakukan. Aku geram. Bahkan pagi inipun aku terlambat bangun karena mama terlambat membangunkanku. Pagi itu seorang anak kelas 4 SD melewatkan menit-menit keterlambatannya dengan mengunyah sarapannya di teras depan rumah.

 

“Sudah!” aku segera meraih sepeda dan melarikannya secepat kilat menuju sekolah. Aku bahkan tidak peduli dengan sosok wanita yang masih memegangi piring yang masih tersisa setengah, berdiri melambaikan tangan.

 

Seperti yang aku takutkan. Pagi itu aku berada di barisan istimewa. Yaitu barisan anak-anak yang terlambat. Berdiri di dekat pagar sekolah. Ada sekitar 7 anak, dan aku salah satunya. Sampai upacara selesai, kami masih berdiri di tempat itu. Sebelum upacara dibubarkan, seorang guru entah bagaimana tiba-tiba meraih mic dan berucap bahwa kami adalah salah satu contoh anak tidak disiplin yang mendapat hukuman jika terlambat upacara. Semua anak berbalik badan. Ratusan mata melihat kami, melihat wajahku. Anak-anak mulai membubarkan diri dan mengambil sampah di sekeliling sekolah sebagai suatu rutinitas pagi. Beberapa orang yang mengenalku memandangku dan kemudian mulai berbisik-bisik. Aku cuma terdiam dan menunduk. Aku ingin sekali menaangis, tapi aku tidak mungkin menangis.

 

Lima belas menit setelah itu, seorang guru mulai menanyakan alasan keterlambatan kami masing-masing. Aku menjawab dengan jawaban klasik, aku bangun kesiangan. Aku tidak mungkin berkata ini semua karena masalah sarapan. Kami  dihukum membersihkan teras di depan ruang kepala sekolah selama 15 menit, tetapi itu terasa seperti satu jam. Semua kelas bahkan bisa melihat kami sedang menyapu di sana. Ini memalukan.

 

Aku memasuki kelasku dengan wajah paling buruk sedunia, bajuku kusut karena mama tidak sempat menyetrikanya pagi itu. Keringat membasahi sebagian lengan dan dahiku. Aku benar-benar terlihat menyedihkan pagi itu, dan seluruh isi kelas seperti sedang mengasihaniku sekaligus menertawakanku.

 

Entah aku lupa karena apa, sekolah hari itu berakhir lebih awal. Kami dipulangkan sekitar pukul 10. Aku kembali ke rumah dengan peluh yang masih belum kering. Aku sengaja mempercepat laju sepedaku, dan berusaha secepat mungkin pergi dari tempat paling tidak nyaman bernama sekolah.

 

“Prim, pulang pagi? Gimana tadi di sekolah? Gak terlambat kan?”

Mama tanpa bersalah membanjiriku dengan pertanyaan sepele yang malas aku jawab. Aku memandangnya sebentar di dapur, wanita itu sedang menggoreng perkedel jagung dengan peluh di dahinya. Aku bisa lihat wajahnya yang kelelahan. Aku cuma diam seribu bahasa. Mama tahu arti pandanganku. Pandangan yang dia kenal semenjak aku kecil. Dan aku berusaha memalingkan muka, meletakkan sepatuku di rak.

 

“Prim…prima…”

 

Aku segera berlari ke kamarku dan berharap mama tidak mengikutiku. Sempat kudengar suara tangis adikku yang berumur belum genap setahun dari kamar yang lain. Ku tutup pintu kamar dan kuhempaskan tubuh di ranjangku yang kecil.

 

Ada yang terbakar di dalam rongga dadaku, sesak dan seolah memaksa air mataku untuk keluar. Aku tidak peduli mengapa mama memanggilku tadi. Sarapan tadi pagi adalah kesalahan terbesar hari ini. Mama tidak pernah sekalipun mengerti aku. Mama tidak pernah tahu sakitnya aku. Aku benci mama saat itu, dan dia tahu itu.

***