Frames, Green, Rustle and Sweet Tea

Muse

Here

Dear humans,

Here…

where I drink at…

Regards,

Hen

***

Thanks to Kang Alam for the inspiring challenge! 🙂

*

PS: Picture was taken in an island in Kepulauan Seribu, Jakarta


Sapaan Baru

Iseng-iseng kemarin saya mengubah cara sapaan chatting yang biasa menjadi anti biasa, hihihih… ketularan Pak Mars ceritanya.

Mungkin hampir semua orang mempunyai sapaan standar saat memulai chat di media online seperti: Hi!, Apa kabar?, Lagi ngapain?, Dimana nih? dan sebagainya. Sapaan standar seperti itu tentu saja sudah biasa kita dapat atau kita sampaikan. Jawabannya mungkin terlihat standar juga, seperti;  Hi juga!, Baik, Lagi di rumah, Lagi di kantor, Lagi iseng aja, dan lain-lain.

Saya kemudian berpikir untuk membuat sapaan yang tidak biasa. Sapaan yang membuat orang tersenyum membacanya. Sapaan yang menarik perhatian dan mungkin bisa memberikan aura positif. Yup, saya menemukannya! :mrgreen:

“Bagaimana perasaanmu hari ini?”

atau

“Apakah kamu bahagia hari ini?”

atau

“Apa kebahagiaan terbesarmu hari ini?”

*

Sapaan model seperti ini terkesan sangat personal, sangat akrab, right to the point, langsung ke hati si penerima, dan tentu saja membuat penerima tergelitik untuk menjawabnya dengan berpikir: Apakah aku bahagia hari ini? apakah kebahagiaan yang aku dapatkan hari ini? Sudahkah aku bersyukur untuk nikmat dan bahagia hari ini?

Memang terdengar sedikit gagu, tetapi tidak ada yang salah dengan menujukkan “perhatian” untuk sahabat atau teman. Kita bisa menujukkan ke orang tersebut betapa kita peduli terhadap perasaan mereka,  mengharapkan kebahagiaan mereka, dan mengharapkan mereka mau berbagi kebahagiaan meskipun hanya kebahagiaan sederhana.

Tidak semua orang bisa berbagi kesedihan, tetapi sebagian orang selalu ingin berbagi kebahagiaan. Meskipun si penerima sapaan ternyata dalam mood yang tidak baik atau sedang bersedih, sapaan dan pertanyaan seperti ini tentu akan memancing pikirannya untuk berpikir ke arah positif, mencari peristiwa-peristiwa yang membuatnya sedikit bahagia di antara kesedihan yang dia alami sekarang. Karena saat orang merasa sedih dan ditimpa musibah, pikirannya biasanya berkutat pada hal-hal negatif dan hal-hal yang membuat bad mood, lalu kenapa kita tidak memancing mereka untuk melupakan hal-hal buruk itu dan mengajak mereka untuk berpikir hal-hal menyenangkan penuh senyuman?

Setiap orang punya respon yang berbeda-beda, tetapi dari yang saya alami, sebagian besar memberikan respon positif:

*

“Tentu saja, setiap hari harus bahagia!”

“Aku bahagia hari ini karena banyak yang memuji hasil karyaku di FB”

“Aku bahagia karena aku bisa bernafas hari ini”

“Aku bahagia karena bunga di halamanku hari ini bermekaran”

“Aku bahagia saat melihat jagoan kecilku terbangun pagi ini dan bilang: Papa, papa..”

*

Ah, sederhana… tetapi sangat manis, bukan?

Mungkin pembaca ingin mencoba juga sapaan model saya ini? Semoga kita bisa berbagi kebahagiaan hari ini!

Happy Blogging!


Teori Bu Budi

Bu Budi, seorang ibu-ibu pemilik toko kelontong yang paling dekat dengan rumah saya, mempunyai teori sederhana unik untuk mengetahui siapakah pemilik uang atau pembeli yang membeli sesuatu di tokonya. Hmmm, mungkin pembaca sedikit bingung apa maksudnya, langsung saja simak dialog saya dengan Bu Budi berikut ini.

Siang itu saya mau baru pulang dari berenang, sebelum sampai di rumah, saya sengaja mampir ke toko Bu Budi untuk beli minuman. Saya keluarkan gulungan uang dari kantong kecil di dalam tas, karena biasanya saya menyimpan beberapa lembar ribuan di sana, dan saya memang sering menaruh kembalian uang di kantong kecil itu, alih-alih lebih praktis dan cepat, saya juga agak malas kalo harus membuka tutup dompet yang saya simpan di dalam tas juga, entah nyelip dimana. 😛

“Bentar bu, uangnya kelipet-lipet..” Saya mulai membuka gulungan lembaran seribuan dan  lima ribuan yang tertekuk dengan kaku, kira-kira seperti pada gambar. Agak susah menarik satu lembar seribuan diantara gulungan itu, sehingga malah membuat uang saya terjatuh-jatuh.

“Maaf bu, hehehehhe…” sembari memberikan uang kelipat-lipat itu seharga minuman.

Bu Budi tiba-tiba membalas, “Gak apa-apa, biasa kalo laki-laki uangnya memang suka dilipet-lipet gitu…”

“Hah? maksudnya bu?” saya tertarik dengan pernyataan beliau itu.

Begini kalo saya dapat uang yang kelipet-lipet kaya uang kamu gini, saya tau uang ini dipegang sama laki-laki, jadi maklum saja. Kalau yang pegang ibu-ibu atau mbak-mbak, kebanyakan mulus, soalnya biasanya keluar dari dompet. Beda lagi dengan anak-anak. Kalau anak-anak uangnya kusut, bahkan robek, soalnya diremet-remet (diremas-remas).”

“Oh begitu ya bu?” saya ngangguk-ngangguk…

“Kalau pembeli laki-laki biasanya jarang menghitung kembalian, biasanya langsung buru-buru digulung masuk kantong, makanya jadinya kelipet-lipet..”

“Hhahahaha, iya bu, saya gitu…” saya makin sumringah.

“Kalau Ibu-Ibu atau mbak-mbak pasti dihitung dulu, sudah dihitung, dimasukkan pelan-pelan ke dompet, baru pergi. Nah kalau anak-anak lebih lucu lagi… “ Bu Budi tersenyum.

“Kenapa bu kalau anak-anak?” saya penasaran.

“Kalau anak-anak, malah lari duluan sebelum di kasih kembalian, hahahaha… biasanya mereka lupa, jadinya saya yang harus teriak-teriak manggil…”

“Hhahaahahah… bener juga ya bu…”

**

Percakapan saya dengan Bu Budi diatas memberikan gambaran bahwa Bu Budi sebagai penjual, diam-diam juga memperhatikan pembeli-pembeli di warungnya, kebiasaan-kebiasaan unik yang dibedakan berdasarkan gender dan umur, sehingga lama-kelamaan menjadi “teori” yang bisa dibuktikan berdasarkan pengalaman. Jujur ini suatu hal yang baru saya ketahui dan menurut saya cukup menarik. 😀

Pada teori ini wanita cenderung lebih rapi dan apik memegang uang sehingga kondisi uang biasanya baik dan mulus, sedangkan pria lebih cenderung terburu-buru, cuek dan gak mau ribet, sehingga bentuk uang yang dipegang suka terlipat-lipat. Anak-anak tentu lebih sembrono lagi karena pikiran mereka masih sangat sederhana, yang penting uangnya bisa masuk kantong. 😀

Nah pembaca, kira-kira teori Ibu Budi itu apa juga berlaku di lingkungan anda?

atau salah satu dari pembaca di sini adalah seorang pemilik toko kelontong yang menemukan bahwa teori tersebut benar adanya?

Apakah kebiasaan-kebiasaan menyimpan uang kembalian tersebut juga berlaku untuk anda?

Happy Blogging!


Kaktus “Captain Hook”

Seperti janji saya di postingan sebelumnya, saya akan ceritakan tentang kaktus yang durinya menyerupai pengait ini.

Kaktus ini tumbuh di sebuah pot di halaman samping rumah saya. Mama sangat benci ke kaktus ini karena seperti yang saya ceritakan, kaktus ini selain punya duri keras yang pendek dan berwarna putih itu, dia punya beberapa duri panjang berwarna gelap di bagian tengah yang ujungnya menyerupai pengait atau kail.

Kail atau pengait ini mudah sekali mengait tangan, kulit, dan benda-benda yang berpori atau berserat seperti kain, benang, bahkan daun tanaman lain. Selain menyebabkan nyeri karena durinya nyangkut, jika kita tidak hati-hati melepaskannya, maka pengait-pengait disebelahnya bisa ikut-ikutan nyangkut! Repot banget!

Lha kok dilalah, kaktus ini sengaja dicuekin, tapi pertumbuhannya gak juga merana, anakannya malah tumbuh banyak seperti kumpulan kue bulat-bulat kecil dan akhirnya membentuk bola besar yang penuh pengait. Sampai akhirnya Mama pernah menyuruh saya untuk membuang kaktus ini, karena lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaat, hehehehe… tapi berhubung saya ngerasa eman-eman, saya simpan aja di daerah tersembunyi yang jarang dilalui orang, jadi tidak menggangu kan?

Satu hari saya iseng menggunting duri-duri pengait itu, dengan tujuan biar kaktus itu terlihat sedikit “ramah”. Berhasil untuk hari itu aja. Setelahnya duri pengait itu akan tumbuh lagi dan lagi. Saya jadi berpikir, apa sebenarnya manfaat duri pengait itu ya?

Lihat bagaimana benang, daun kering, kerikil dan benda-benda lain bisa tersangkut disana.

**

Suatu hari saya melihat ini

Bangkai apakah itu?

Itu bangkai katak malang yang terjebak oleh duri pengait si kaktus.

**

Dari sedikit observasi akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan manfaat dari duri pengait itu. Hipotesis saya kira-kira seperti ini, bisa jadi benar-bisa jadi salah, tapi cukup realistis, imho  😛

  1. Duri pengait kaktus digunakan sebagai perangkap hewan kecil yang singgah pada tubuh kaktus. Contohnya katak malang di atas. Tentu saja semakin gesit sang katak mencoba meloloskan diri, semakin banyak duri pengait yang menangkapnya, sehingga katak tersebut tidak dapat bergerak dan mati pelan-pelan di atasnya. Terus apa untungnya bagi si kaktus? Tentu saja, sari-sari makanan dari tubuh katak akan terurai dan akhirnya diserap oleh kaktus, sehingga kaktus secara tidak langsung mendapat zat hara. Bisa jadi ini kaktus karnivora! *hihihihi.. lebay
  2. Duri itu adalah alat penyebaran populasi kaktus. Satu kali saya tersangkut oleh duri pengait kaktus yang ukurannya kecil, dengan mudahnya si kaktus ikut tercabut dan ikut di tangan saya, saya tentu berusaha mencabut dan melemparkannya ke tempat lain. Nah! Justru dengan teknik “nyangkut” itu, kaktus kecil itu akan mulai berkembang di tempat baru dan membentuk koloni barunya. Jadi, jika ada hewan besar atau manusia yang tidak sengaja tersangkut durinya, si kaktus bisa ikut dan berpindah tempat dan beranak pinak di tempat baru itu. Saya sudah lihat beberapa anakan yang jatuh di tanah disekitar induknya sekarang mulai tumbuh.

Hampir sama dengan teknik penyebaran tanaman “rumput bujang” yang duri-duri lunaknya suka nyangkut di celana atau kaos kaki kalau kita melewatinya. Yang nyangkut itu kan sebenarnya biji-bijinya, dan saat kita melepaskannya, si biji sudah berada di tempat yang jauh dari induknya. Mungkin pembaca ingat cerita tentang pohon “kitiran“? Nah kalau itu teknik penyebarannya dengan cara terbang! 😀

**

Sungguh Maha Besar Tuhan yang menciptakan segala hal dengan sebuah alasan dan manfaat, bahkan untuk sebuah duri pengait yang kita kira sebuah “musibah”, ternyata mempunyai tugas mulia bagi si kaktus.

Semoga pengetahuan ini tidak hanya memperluas wawasan kita tentang tanaman, tetapi juga mengandung renungan tentang hikmah sebuah penciptaan.

Salam Kebun!


Dialog dengan Atheist

Terinspirasi oleh cerita tentang atheist di postingan Mbak Inda/Bunda Farrel, saya jadi teringat tentang dialog saya dengan seorang teman yang seorang atheist saat dulu saya di US.

Sebut saja Arthur, student kulit putih berasal dari salah satu negara Eropa Timur, berperawakan tinggi besar dan athletis, pandai ngedance, tetapi kemampuan Englishnya di bawah rata-rata, aksennya terdengar sedikit aneh. Tentu saja dia menyukai musik house (musik ajeb2 di night club), karena memang dia suka sekali ke night-club, untuk dance dan minum, whatever lha pastinya kesenangan duniawi.

Suatu sore saat itu saya lagi masak di dapur, Arthur lagi makan es krim dan ayam fillet di meja makan, seorang teman dari Brazil baru pulang dari tempat kerja memberikan paket berisi buku ke saya, hmmm, itu pasti buku tentang tanaman yang saya beli online. Yes, I am waiting for it! Arthur melihat saya begitu bahagia saat membuka paket berisi buku itu di meja makan, dan dia seperti “gubrak” saat melihat isi paket itu adalah buku!

*anggap saja dia dan saya berbicara dalam English*

“Buku lagi?”

Saya cuma tersenyum.

“Apa kamu bahagia dengan buku? apa umur kamu mau kamu habiskan dengan baca buku?”

“Of course!” jawab saya.

“Kalau kamu mau bahagia, pergi ke night-club, minum, dance, f*ck a girl, itulah kebahagiaan”

Saya cuma tersenyum dan melanjutkan masak saya.

“Prima! Kamu dengar saya tidak??”

“Apa??”

“Kamu jarang sekali ke night-club, alasan capek lha, baca buku lha, gak mood lha… “

Lagi-lagi saya cuma nyengir kuda, memang saya sering menolak daripada ikut hang-out di night-club bareng anak-anak tiap jumat dan sabtu.

“Lihat, kamu tersenyum lagi! Kamu sangat pendeta!”

“Apa maksudmu?”

“Cuma pendeta yang melakukan itu, kamu itu terlalu ramah, tersenyum setiap saat, terlalu baik, terlalu banyak baca buku, jarang bersenang-senang, come on!

“Tidak Arthur, aku sudah cukup senang kok…” Dalam hati saya, kayanya saya di Indo biasa aja deh, ustad gak, preman juga gak, wkakakkkaa…

“Apa yang kamu lakukan di negaramu untuk bersenang-senang?”

“Hmm… makan di resto atau cafe, jalan-jalan di mall, nonton, yah, semacam itu lha..”

“What??? Hahahhahaha… dan pergi ke perpustakaan kan?”

“Jadi apa masalahmu?”

“Prima, banyak kesenangan di luar sana, kamu harus coba… stop being priest!”

“Aku bukan pendeta dan aku tidak biasa melakukannya…”

“Kenapa? Agama? Tuhan?”

Saya selesai masak, dan sekarang duduk di hadapannya, membawa piring makan saya.

“Kamu percaya Tuhan?”

“Tentu saja”

“Dengar, Tuhan itu gak ada Prima, itu cuma doktrin agama yang masuk ke kepala kita semenjak dari kecil. Agama dibuat oleh manusia, manusia mengendalikan manusia lain atas dalih agama dan cerita-cerita tentang nabi, mereka menjadi Tuhan bagi orang lain, dan maaf, aku bukan orang bodoh…”

“Aku tidak butuh agama untuk percaya Tuhan, ini masalah percaya atau tidak…”

“Kamu tahu dulu aku siapa? Aku bermain piano di gereja! Aku membaca kitab setiap hari… tapi semua gak berpengaruh apa-apa, sudah cukup… mereka mempermainkan aku, menipu aku! Mereka, gereja, peace of sh*t! “

“Tuhan meminta kita mengerjakan hal baik, itu saja, tidak banyak, semua berakhir untuk kebaikan”

“Agama sudah ada dari jaman dulu, kemana Tuhan saat orang-orang berperang, anak-anak kelaparan dan mati di jalanan? Apa dunia ini menjadi lebih baik??? kebaikan yang mana? eh?”

“Tapi Tuhan melindungi orang-orang yang percaya, karena percaya itu lha kita merasa damai dan percaya akan masa depan yang lebih baik!” Saya sedikit mengeras.

“Orang-orang yang percaya Tuhan itu yang biasanya mati duluan, mereka lemah” Arthur tersenyum.

Saya diam, saya kehabisan kata.

“Kamu percaya akan roh?”

“Iya”

“Itu tidak ada, hidup cuma sekali, setelah mati, itulah akhir, habis!”

“Roh akan kembali ke Tuhan, ada janji, surga dan neraka.”

“Hahahah… aku tau jawabanmu, sudahlah roh itu tidak ada, janji-janji itu tidak ada, nikmati saja yang ada di depan mata”

Dahi saya makin berkerut.

“Prima, silahkan kamu percaya Tuhan, berdoa setiap hari, kelak kamu menikah, dan saat kamu asyik berdoa, istrimu akan sedang tidur dengan laki-laki lain, karena kamu terlalu sibuk berdoa dan baca buku!”

“F*ck NO!” Saya teriak.

“Itu lah yang terjadi!”

Arthur berdiri, dengan piring makannya.

“Lihat, God is chicken, I eat the chicken! Hhahahhahaha…” Potongan ayam itu masuk ke mulutnya.

“Arthur, kamu…!”

Arhtur meninggalkan saya di meja makan, percakapan di atas harusnya lebih panjang dan lebih mengenaskan, tapi hanya itulah poin yang saya ingat. Saya tertegun beberapa menit, entah bagaimana, ada sedikit air mata menggantung di mata saya. Saya menghela nafas, ada rasa sesak di dada, ada kekesalan, ada hati yang terluka, hati yang berusaha membela apa yang diyakininya. Tuhan saya  harus bagaimana?

Senja itu, di meja makan itu, ada setitik rasa syukur yang teramat sangat yang menyelimuti hati saya.

Terimakasih Tuhan sudah memilih saya, untuk menjadi mereka selalu percaya kepadaMu, dan selamatkanlah Athur…

Sahabat,

Di Indonesia, kita sibuk beradu opini, debat dan isu-isu antar agama yang tidak ada habisnya, tetapi di luar sana, saya dihadapkan pada debat yang lebih tragis, debat antara yang percaya dan tidak percaya, dan bagi saya itu jauh lebih berat. Jujur saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Arthur dengan sebuah kemenangan, saya merasa terpojok dan lemah, saya tidak sanggup membela Tuhan di hadapan seorang atheist. Saya malu.

Sahabat, saya yakin sahabat siap membela agama, tapi sudah siapkah sahabat membela Tuhan?

*sebuah renungan untuk diri sendiri…

Happy Monday!


Seandainya Saya ke Bogor…

Hmmm.. judul di atas rasanya sudah bisa menjelaskan apa yang saya bakal tulis di sini… 😛 Sekali lagi ini hanya seandainya, hanya rencana, hanya angan-angan dan tidak ada indikasi bahwa saya akan segera ke Bogor atau apa, syukur-syukur kejadian, kalau tidak ya sudah… artinya bukan batal, tetapi hanya mundur saja waktunya…

Berprasangka baik saja, apa yang saya tulis di sini adalah doa, dan semoga Tuhan mendengar doa saya… amin.

Sudah hampir 8 bulan semenjak saya meninggalkan Bogor bulan Agustus 2010, tempat saya dulu pernah menimba ilmu, tempat saya dulu hidup di sebuah kecamatan di bagian barat kabupaten bogor, tempat teman-teman saya banyak berkumpul, dan tempat di mana saya merasa ada di rumah, dalam artian saya sudah biasa dengan makanan warung nasinya, sudah biasa dengan macetnya, sudah biasa dengan hujan setiap sore, dan sudah hafal dengan trayek angkotnya 😀

Seandainya saya balik ke Bogor, saya ingin…

1. Jalan-jalan di kampus Darmaga, makan siang di kantin Sapta, duduk menikmati pohon-pohon rindang di sekitar gedung GWW, jalan-jalan di Bara (sebuah jalan sebelah kampus tempat banyak penjual makanan) saat malam tiba *karena kalo siang panas! dan tentu saja wisata kuliner di tempat-tempat favorite saya… 🙂

2. Naik angkot dan Bis Pakuan, wuakakakaka…. bukan berarti saya kangen sama macetnya daerah garmen yang selalu bikin perjalanan 1 jam menjadi 2 jam, tetapi lebih kepada: melintasi jalanan-jalanannya, pemandangannya, dan segala sensasi yang selalu saya rasakan tiap kali naik angkot… termasuk duduk miring di deket pintu ketiup2 angin *haiyah!

3. Bertemu dengan sahabat-sahabat lama, ada yang sedang sibuk dengan S2 nya, ada yang masih sibuk dengan skripsi, ada yang sudah bekerja, ada yang baru saja memulai kuliah S2 nya, ada yang baru pulang dari luar negeri, Hmmm… Yuk reunian lagi! Saya siap jadi tukang fotonya! 😀

4. Jalan-jalan di Bogor, pastinya! hahahaha… dari mulai ke Botani Square, mall-nya IPB yang entah sudah seperti apa sekarang, terus lanjut ke Ekalokasari Plaza, yang kata temen udah jadi keren sekarang, sekeren apa ya??? terus pengen juga ke Kebun Raya, sekedar hunting foto dan nyobain jajanan di sekitar pasar Bogor, hmmm… berhubung saya sering baca kalo di Surya Kencana banyak kuliner khas Bogor. Saya aja belum pernah menjelajahi daerah situ, wkakakak… kalo lewat sih pernah, wkakakka… so, next time, wajib jalan-jalan ke sana!

5. Kopdar sama Trio Cumi, hihihihih… Kalo Irvan mungkin bisa ditemui di sekitar kampus, wkakakka…, nah kalo Putri karena dia di jakarta, jadi ada dua pilihan dia yang mau ke Bogor, atau kita yang ke Jakarta… Well, cuma sekedar berbagi kebahagiaan karena hasil susah payah kita menulis cerbung di kontes Kecubung 3 Warna ternyata membuahkan hasil yang lumayan… Si Putri katanya mau traktir saya es krim di Monas! Hore!  hihiihihhi… Monggo Putri dan Irvan silahkan direncanakan ya, tapi dengan catatan, saya sudah di Bogor, wuakakakaka… *keburu bulukan gak ya mereka???

6. Kopdar Bogor + Jakarta! Nah kalo ini saya sih belum ada rencana secara detail, yang pasti saya mau-mau saja kopdar dengan blogger kenalan saya di sekitar kampus *yang ngerasa ngacung! wkakakkakaa… dan beberapa blogger lain yang berdomisili di Bogor. Jika juga ada waktu dan biaya, karena Bogor gak terlalu jauh dari Jakarta, saya ingin sekali kopdar dengan blogger-blogger di Jakarta.. ya syukur-syukur ada yang mau kopdar sama saya *sok pede… Mulai dari yang sepuh, ibu-ibu, om-om, mbak-mbak, dan ababil-ababil, hayuk aja! Meskipun nomor urut antrian untuk Kopdar dengan Om NH adalah 629! 😯 wuakakakakaaakkk… *aduh, ada calo yang jual nomor lebih awal gak sih?!

7. Bersilahturahmi ke orang-orang yang saya hormati… Mudahan ada rejeki dan bisa mampir ke rumah orang tua sahabat saya di Purwakarta, di Lembang, Bandung dan tentunya Emak-Bapak di Kayumanis, tempat saya pernah tinggal beberapa bulan dengan gratisan… Hayuk Mak, kita berkebun lagi! 😀

Mungkin itu dulu kali ya… entar kalo kebanyakan malah bingung.. hehehehe… Silahkan para pembaca meng-aminkan, Amiinnnn… 😀

Happy Monday!

Today, I simply pray to my Almighty, I follow what You say, either granted or not, I believe the time is coming to me, I just can’t wait to see that and feel again Your blessing is overwhelming…


Bendera Itu

Pemuda itu melangkah menuju arah rumah dengan sedikit lambat. Nafasnya sudah mulai teratur. Keringatnya juga tidak lagi keluar sederas 30 menit yang lalu. Pemuda itu melirik langit sesekali, senja sudah tiba. Lima menit lagi dia akan tiba di rumahnya. Jogging kali ini cukup membuat otot-ototnya terasa lebih ringan dan rileks.

Tepian jalan raya sebenarnya bukanlah track jogging yang dia sukai, tetapi untuk mencapai rumah lebih cepat, mau tidak mau dia memang harus memilih jalan itu. Mobil, motor dan truk lalu lalang, tergesa-gesa seolah-oleh sedang berebut untuk segera pulang ke sarang masing-masing. Lampu-lampu kendaraan dan pinggir jalan pun mulai dinyalakan.

Pemuda itu memandang ke sebuah gapura besar yang melintang jauh dihadapannya, bertuliskan kata-kata selamat datang. Itulah gapura yang menjadi gerbang kota tempat tinggalnya. Di sisi-sisinya ditanami berbagai macam tanaman hias dan peopohonan yang turut menyemarakkan keindahan gapura itu, tidak terkecuali barisan umbul-umbul yang berwarna-warni. Umbul-umbul biasa berbentuk bendera warna-warni, dan beberapa adalah umbul-umbul merah putih. Warna bendera negara ini.

Mata pemuda itu tiba-tiba beralih pada sebuah umbul-umbul yang rebah di tanah. Sebuah umbul-umbul merah putih yang terikat pada tiang bambu. Ikatannya yang terbuat dari tali rafia itu sepertinya terlepas dari pagar kawat tempat bersandar bambu tersebut. Mungkin roboh tertiup angin. Pemuda itu masih melangkah seperti biasa, matanya tidak lagi menatap umbul-umbul yang roboh itu. Nanti juga ada petugas kebersihan atau siapapun yang membetulkan posisinya.

 

Dalam langkah-langkahnya, pikiran pemuda itu kembali tertuju pada umbul-umbul yang roboh.

Siapa yang akan membetulkan posisinya?

Apakah petugas itu benar-benar akan datang?

Tapi kapan?

 

Ingatan pemuda itu melayang ke ucapan pembina pramuka saat dia masih duduk di bangku sekolah.

“Berhentilah sejenak saat bendera merah putih dikibarkan, posisikan dirimu dengan posisi hormat, itu wajib bagimu. Junjunglah selalu bendera itu. Jangan pernah menjatuhkan sekali-kali ke tanah dengan sengaja. Bendera itu adalah bendera yang sama yang pernah dikibarkan dengan pengorbanan air mata dan darah”

 

Pemuda itu terdiam seketika. Kepalanya menoleh ke belakang, matanya kelu menatap ke arah umbul-umbul merah putih yang sudah berada sekitar seratus meter di belakangnya. Pemuda itu berbalik. Dia berjalan, tapi terlalu lama, dia berlari, terus berlari menuju umbul umbul yang roboh.

Tanganya mengangkat bambu tinggi itu dengan cepat, menahannya dan meraih rafia yang terlepas, melilitkannya dan mengikatnya dengan segenap kekuatan, memastikan bahwa ikatanya tidak akan terlepas oleh angin. Tidak lagi dihiraukan apa kata orang yang mungkin melintas dan melihatnya: Apakah pemuda itu kurang kerjaan? apa pemuda itu kembali hanya untuk sebuah umbul-umbul?

 

Ada hembusan nafas lega dari mulut pemuda itu, seolah ada sebuah hutang besar yang telah ditunaikan. Pemuda itu mundur, memandang umbul-umbul merah putih yang telah berdiri dan berkibar di langit senja. Sama seperti ketika dia pernah mengibarkan bendera di sekolahnya, pemuda itu mengangkat tangan, memberikan hormat kepada sang merah putih.

 

Matanya nanar. Bukan, bukan karena dia teringat tentang  perjuangan penuh air mata dan darah, atau tentang sebuah kemerdekaan yang pernah dia baca di buku sejarah, tapi dia malu. Bukan malu pada orang-orang yang melihatnya.

 

Dia malu pada dirinya sendiri.

 

Aku seharusnya tadi bisa mengibarkan sang merah putih lebih cepat, menjunjungnya lebih cepat dari keterpurukan di atas tanah. Aku seharusnya tidak perlu berpikir dua atau tiga kali hanya untuk mengangkat sebuah bendera merah putih, bendera kehormatan negeri ini, tanah air tempat aku dilahirkan…

[based true story]

***

 

Sebuah renungan untuk diri sendiri…

 

Happy Weekend!


Patut Dicontoh

Kebiasaan , atau tabiat, atau hal yang dijalankan dengan lumrah dan diulang-ulang, bisa jadi merupakan sesautu baik atau buruk. Tentu saja setiap bangsa dan negara punya kebiasaan baik dan buruk masing-masing. Pasti kita sudah seringkali membaca atau bahkan mengalami sendiri kebiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh orang-orang luar negeri yang tentunya membuat kita sedikit banyak menjadi kagum. Termasuk saya.

 

Saya gak akan membahas kebiasaan baik dan buruk bangsa ini, tetapi hanya memberikan gambaran bagaimana kebiasaan baik di negeri orang lain yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran. Sedikit cerita tentang hal-hal kecil atau kebiasaan baik orang-orang di US yang saya alami sendiri.

Antri

Sudah rahasia umum, bagaimana budaya antri di negeri kita, jadi tidak perlu dijelaskan, hehehehe… Di US, antrian adalah kondisi yang jarang menimbulkan kerusuhan, senggol-senggolan atau suap-suapan.. *halah. Kalau seandainya kita tidak ada di tempat antrian atau meninggalkan tempat antrian dan kembali pada saat nomor kita sudah lewat, maka kita harus ambil nomor antri lagi. Simply strict! 😆

Kalau antri di bank, atau tempat formal lain, biasanya akan diberi garis batas antrian dengan orang yang sedang dilayani, kira-kira jaraknya, 1-2 meter, intinya kita gak boleh ngantri di samping orang yang sedang dilayani atau malah nempel sambil ngintip-ngintip urusan orang! (- -‘)… Intinya mereka memberikan space yang cukup untuk ruang gerak dan privacy, dan gak ada acara dempet-dempetan kaya orang lagi mesra-mesraan…wkakakaka… nah meskipun gak ada garis batas itupun , mereka selalu ngasih kita space at least satu langkah dari kita. Udah biasa mungkin ya…

Satu lagi, gak ada acara salip-salipan, sedikit ruang kosong di depan orang bukan berarti kita bisa berdiri di sana terus nyempil ikut antri. Umumnya  mereka akan bertanya: “Apakah kamu dalam antrian?” Jika ya, dia akan berdiri di belakang kita. Sopan bukan?

 

 

Self Service

Jasa atau service mahal harganya. Jadi untuk resto-resto cepat saji atau food court kita dibiasakan mengembalikan baki ke tempatnya dan piring-gelas bekas makan ke tempat sampah. Kenapa? Karena kita cuma bayar makanannya, bukan pelayannya, Hahahahah… kecuali kita makan di resto yang ada pelayannya. Nah, siap-siap dijamu dan dilayani dengan sangat ramah, tapi jangan lupa kasih tips. Service ada harganya lho. 😀

Bawa-bawa baki dan sisa makanan ke tempatnya bukanlah sesautu yang hina atau kurang kerjaan, toh sedikit banyak kita jadi gak perlu  bikin tamu lain nunggu meja kita dibersihkan oleh cleaning service-nya. Meja kita kembali bersih seperti pertama kita datang, dan orang lain bisa langsung pake meja kita. Lancar kan? Serius deh, kalo kita ninggalin sisa makanan teronggok begitu aja, saya juga kadang ngerasa jorok banget ya, kaya ninggalin something wrong di sana, wkakakakkaka… apalagi kalo tamu lain datang terus ngeliat “kapal pecah” itu, bisa-bisa ilang selera makan!

 

 

Berlalu-lintas

Jelas sudah aturan lalu lintas memang harus dipatuhi. Setiap orang berlalu lintas dengan hati-hati. Mulai dari pindah line atau jalur, speed limit atau batas kecepatan, sampai tanda stop sampai hal-hal kecil seperti garis lurus tidak putus-putus di jalan yang berarti dilarang mendahului atau berbalik arah.

Hampir di semua persimpangan jalan (tanpa lampu lalu lintas) di US memiliki tanda STOP yang berarti kita harus stop sekitar 3 detik baru kemudian berbelok. Begitu hati-hatinya mereka membuat peraturan untuk keselamatan pengguna jalan sendiri.

 

Klakson jarang dibunyikan jika tidak terpaksa. Saya pernah sekali diklakson mobil lain karena satu hal, saya mengemudi di garis yang memisahkan line. Kita tidak boleh berada di garis itu terlalu lama, harus pilih jalur mana yang kita pilih. Dua jalur (untuk satu arah) memang luas, tapi bukan berarti boleh ada 2 kendaran berjalan, dan 1 kendaraan nyempil sejajar lho, wkakakakaak… Mereka sangat tertib.

 

Jika pada suatu pertigaan kemudian jalanan sangat padat, dan kita akan masuk ke line tersebut. Percayalah salah satu mobil-mobil itu akan berhenti dan mempersilahkan kita untuk masuk. Sama halnya dengan pejalan kaki, tidak ada isitilah “tanggung”, mereka akan berhenti untuk pejalan kaki yang menyeberang. Satu lagi, tidak akan ada adegan klakson-klakson tanpa alasan jelas, seperti klakson buru-buru dari kendaraan di belakang setelah lampu hijau menyala. Semua orang juga buru-buru pasti! Tapi semua tetap “elegan” mengendalikan diri. Mereka sangat tertib dan sabar. Itu yang membuat pengguna jalan satu sama lain merasa aman dan nyaman.

 

Email

Sudah seperti aturan bahwa membalas email formal seharusnya dalam 1×24 jam di hari kerja. Kalaupun tidak bisa menjawab dalam waktu dekat, mereka akan email balik dengan janji akan menjawabnya dalam waktu tertentu. Intinya tidak ada email yang digantung atau berakhir tanpa ada kejelasan.

Hampir sama halnya dengan orang-orang di Eropa. Satu kali saya melayangkan aplikasi untuk sebuah lowongan pekerjaan atau sekedar menanyakan apakah mereka sedang membuka lowongan. Dalam waktu tidak lebih dari sehari pertanyaan langsung dijawab, dan lamaran pekerjaan dijawab dalam waktu seminggu. Meskipun itu adalah suatu penolakan. Hal ini sangat menguntungkan pihak pelamar, karena tidak perlu bertanya-tanya bagaimana nasib lamarannya.

Jika memang iya dijawab iya, jika masuk dalam pertimbangan, maka dijawab silahkan menunggu, jika menolak segera jawab tidak, tidak perlu menggantung nasib orang. Bagi perusahaan mungkin ini hanya sebuah masalah kecil atau email sepele, tetapi bagi pelamar mungkin saja ini urusan perut sebulan ke depan.

Apalagi jika email itu ditujukan kepada instansi pemerintah. Jika banyak masyarakat kecewa dengan lambatnya pelayanan instansi pemerintah, saya rasa dunia jurnalistik akan segera berkoar-koar dimana-mana. Jika instansi pemerintah saja begitu cekatan, apalagi instansi swasta seperti bank, asuransi, maskapai penerbangan, mobile-phone provider, dan lain-lain, saya rasa mereka akan jauh lebih gesit lagi. Salut!

 

 

Pelayanan Umum

Kalau kita pertama kali buka rekening di bank, kemungkinan besar kita akan dilayanin oleh satu CS, yang akan memberikan kartu namanya di akhir tahapan, dan dia dengan tanpa ragu-ragu akan bilang: “Call me if you have problem.” Satu kali saya ada masalah dengan tabungan saya, saya coba hubungi Leonor, CS yang dulu membantu saya. Hey! Dia masih ingat dengan saya dan berjanji akan menangani masalah saya. Selang 1 jam, dia telepon balik saya dan mengatakan masalahnya sudah beres. Seneng gak tuh!

Teller yang sering ketemu saya juga, begitu akrab, dan tidak ragu-ragu bertanya tentang cuaca dan rencana liburan Natal dan Tahun Baru. Tidak hanya memberikan pendapat, dia juga memberikan info-info seputar tempat liburan yang dia tahu. So friendly!

 

Sama halnya di supermarket, kerap kali kasir akan memberikan pendapat sampai mengajak kita mengobrol. Tentunya seputar barang yang kita beli seperti “Good Choice”, “Oh, It’s good but I like another flavor”, atau “Wow, is this a new one?, I’ve never tried this before!” 😆 kalau sudah begini saya kadang minta saran atau tanya kualitas barang yang saya beli, bahkan satu kali menukar dengan merk lain berdasarkan rekomendasi dia, hahahha… Ramah-ramah banget kan… Malah satu kali saya terlibat obrolan seru dengan seorang kasir di toko sepatu bercerita tentang anaknya yang tinggal di Orlando (tempat saya bekerja sebelumnya), hahahaha…

 

Masih banyak kenangan tentang betapa mereka benar-benar totalitas melayani konsumen. Meskipun mereka dibayar secara professional, mereka tetap menampilkan unsur-unsur manusiawi yang juga ingin tersenyum, ngobrol dan berbagi. So human, isn’t it?

 

 

Mungkin itu saja kebiasaan-kebiasaan masyarakat sana yang saya ingat, yang menurut saya baik dan patut dicontoh.

Mungkin ada sahabat yang punya masukan  atau info lain? Silahkan disharing ya…

 

Happy Blogging.

PS: Photo-photo di ambil di NYC, sori kalau OOT, suka-suka aja… 😀


Kisah Desktop dan Laptop

Alkisah tersebutlah sebuah komputer tua yang tinggal di sebuah rumah. Komputer tua itu terdiri dari monitor, keyboard, mouse, CPU (mesin computer) dan kabel-kabel yang menghubungkannya. Mereka memanggilnya Desktop. Tepat di sebelah rumah itu, tersebutlah sebuah rumah lain yang dihuni oleh sebuah komputer model baru yang lebih praktis, berukuran kecil dan mudah dibawa kemana-mana. Mereka memanggilnya Laptop. Si Desktop dan Si Laptop hidup bertetangga.

 

Suatu hari Si Desktop dan Si Laptop bercakap-cakap dari jendela rumah.

“Hey, Laptop! Mujur benar nasibmu kawan.” Seru Si Desktop.

Si Laptop tidak mengerti “Mengapa kau berkata begitu, Desktop?”

“Jelas saja, lihat dirimu, indah, menarik, cerdas, badanmu juga ringan sehingga sering diajak jalan-jalan oleh pemilikmu.” Jelas Si Desktop dengan pandangan iri.

“Lalu apa bedanya?” Si Laptop rupanya masih kurang puas dengan penjelasan Si Desktop.

“Lihatlah diriku, aku sudah tua sekali, kerjaku agak lambat, badanku kusam dan penuh debu, banyak lecet dimana-mana, keyboardku saja sudah hampir hilang tulisannya, belum lagi badanku yang berat dan penuh kabel ini, tidak mungkin ikut jalan-jalan dengan pemilikku. Aku bosan diam di sini. Aku iri kepadamu, Leptop.”

“Aku ingin menjadi sepertimu…” Lanjut Si Desktop bergumam.

 

Si Laptop tiba-tiba terdiam sambil menunduk. Wajahnya mengisyaratkan kesedihan. Si Desktop merasa heran dan bertanya.

“Mengapa kau bersedih Laptop? Bukankah hidupmu bahagia?”

“Aku justru iri padamu Desktop, setiap hari aku lihat kau bekerja dengan pemilikmu, siang malam pemilikmu menggunakanmu dengan penuh semangat. Dia menulis blog, menulis cerita dan mengedit foto untuk lomba-lomba, mencari informasi dan ilmu pengetahuan di internet, mengerjakan tugas kantor, membantu mengerjakan PR anak-anak dan kadang menuliskan artikel untuk surat kabar. Lebih jauh lagi pemilikmu terkadang mengajarkan tentang komputer dan internet kepada tamu-tamu yang datang, sehingga ilmu yang dia punya bermanfaat untuk orang lain.” Laptop menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.

 

“Bagaimana dengan pemilikmu, Laptop?” Tanya Si Desktop lagi.

“Pemilikku sering mendiamkan aku saja. Dia hanya sering bermain game berjam-jam dan menggunakan internet hanya untuk bersenang-senang dan melihat situs-situs yang tidak berguna. Belum lagi dia selalu memamerkan diriku di depan teman-temannya. Aku hanyalah barang pameran yang sering di bawa kemana-mana hanya untuk kepuasan semu belaka, tanpa ada manfaat yang berarti. Padahal aku mampu melakukan lebih banyak daripada itu. Aku ingin sepertimu, Desktop” Jawab Si Laptop lirih.

 

Desktop tertegun mendengar penjelasan Laptop. Ia termenung membayangkan kondisi Si Laptop.

“Sekarang, apakah kau mau menjadi seperti aku?” Tanya Laptop, memecah lamunan Desktop.

 

“Tidak, Laptop. Aku kini bersyukur bahwa ternyata pemilikku menggunakan aku dengan sangat baik, meskipun aku sudah tua dan lambat, tetapi aku sering melakukan hal-hal bermanfaat dan banyak membantu orang.” Desktop tersenyum.

 

“Kau benar Desktop, apalah arti sebuah penampilan, merk, dan segala kecanggihan yang aku punya, jika ternyata tidak mampu bermanfaat bagi banyak orang. Aku tidak lebih baik darimu.” Kata Laptop dengan bijaksana.

 

Si Desktop kini tersenyum. Komputer tua itu kini menyadari, yang terpenting bukanlah sebaik apa penampilannya, melainkan sebesar apa manfaat yang bisa dia lakukan.

**

 

Pesan moral:

1.       Gunakanlah dan hargailah suatu barang bukan semata-mata karena penampilan fisik belaka, tetapi karena manfaatnya bagi diri sendiri dan orang lain.

2.       Lebih baik menjadi seperti alat sederhana yang berguna bagi orang lain, daripada menjadi seperti alat canggih yang tidak berguna.

 

Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerita Anak Sarikata.com 2011.


Rumput Tetangga

“Rumput tetangga selalu lebih hijau”

Mungkin kata-kata itu sudah seringkali lewat di telinga kita. Keadaan di mana kita merasa orang lain lebih beruntung, lebih baik, lebih berhasil, lebih bahagia, lebih ini dan lebih itu. Biasanya ini akibat kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain yang berada di “atas ” kita.

 

Mungkin hampir semua orang pernah merasakan saat-saat seperti ini, sedikit atau banyak, jarang atau sering, intinya terbesit rasa iri di dalam hati. Menurut saya, perasaan iri adalah manusiawi sekali, iri yang baik tentunya memunculkan suatu pemikiran dan motivasi, tetapi jika berlanjut menjadi dengki, nah itu namanya penyakit hati 😀

 

Tentu saja saya juga mengalaminya rasa iri ini. Kadang merasa rumput tetangga lebih hijau dari rumput kita. Terlebih lagi yang hubungannya dengan hal-hal yang tidak mampu dimiliki atau tidak mampu diraih. Banyak hal yang memunculkan perasaan ini, bisa dari sekedar ngobrol, chatting sampai blogging.

 

 

Pada satu kesempatan saya menelepon teman saya baru pulang dari US, berbagi cerita, hingga kemudian dia mengatakan bahwa  dia berniat melanjutkan S2 secepatnya. Saya berpikir, betapa beruntungnya dia. Saya iri.

Lain kesempatan saya chatting dengan teman di YM dengan teman yang sudah bekerja di Singapura dan US. Kehidupannya semakin sibuk dalam dunia kerja yang penuh tantangan. Karirnya semakin melesat. Saya berpikir, betapa beruntungnya dia. Saya iri.

Lain lagi dengan cerita seorang teman yang sedang bersiap-siap melanjutkan studi dengan besasiswa S2 di negeri tirai bambu, padahal sekarang pun dia masih di luar negeri. Cepat sekali bergerak. Saya berpikir, betapa beruntungnya dia. Saya iri.

Kemudian saya ngeblog, baca tulisan orang yang keseharian kerjanya dipenuhi dengan kegembiraan dan tulisan penuh semangat dan aura kebahagaiaan. Membangun perusahaannya sendiri. Travelling ke tempat-tempat penuh kejutan. Karir yang melesat jauh meninggalkan teman-teman seumurannya. Saya berpikir, betapa beruntungnya dia. Saya iri.

 

 

Tidak akan habis rasanya jika kita terus membandingkan diri ini dengan hal-hal yang kita tidak miliki. Hati menjadi lelah membandingkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dibandingkan. Tapi namanya juga manusia, selalu saja ada masanya hati menjadi goyah.

Tetapi kehidupan ini tidak mulu masalah melihat ke atas. Dari percakapan, chatting dan blogging juga kita bisa memperoleh banyak cerita yang berkebalikan. Selalu ada cara kita untuk sesekali melihat rumput kita lebih hijau. Melihat diri ini lebih baik, lebih beruntung, dan lebih dari orang lain. Kemudian kita seperti mengobati rasa iri itu dengan rasa syukur.

 

 

Satu kali saya bertemu dengan teman lama. Dia orang baik tetapi tidak sedang bernasib baik. Sekolahpun dia tidak sampai lulus. Hidupnya dipenuhi dengan perbuatan tidak berguna. Bekerja tidak jelas juntrungannya. Dia mengeluhkan hidupnya amat berantakan. Saya terketuk, betapa beruntungnya saya. Saya bersyukur.

 

Lain kesempatan saya bertemu dengan teman yang sudah berkeluarga, tetapi hidupnya juga sakit-sakitan dan penuh dengan perjuangan. Memiliki anak di umur yang muda tanpa persiapan justru membuat hidupnya semakin runyam . Kini dia harus bekerja lebih giat dari biasanya. Lebih banyak keringat, lebih banyak air mata. Saya terketuk, betapa beruntungnya saya. Saya bersyukur.


Saat ngeblog, saya juga membaca tulisan sederhana dari para blogger tentang kehidupannya di kota kecil yang dipenuhi dengan tawa dah rasa syukur meskipun pekerjaannya tidak terlalu menjanjikan karir, meskipun hidupnya hanya seputar itu-itu saja. Tetapi tidak sedikitpun dia bersedih. Saya terketuk, betapa beruntungnya saya. Saya bersyukur.

 

 

Jadi intinya apa?

Ubah rasa iri menjadi semangat berjuang saat melihat rumput tetangga lebih hijau.

Sebaliknya, Pandai bersyukur saat melihat rumput tetangga ternyata tidak sehijau rumput kita.

 

Hidup ini tidak mulu tentang melihat orang-orang yang berada di atas, kita juga bisa melihat orang-orang yang berada di bawah pada saat yang sama. Itu yang kelak melatih kita untuk  pandai menjaga dan menyikapi hati. Itulah yang membuat hidup ini seimbang. Bersemangat dan bersyukur  pada saat yang bersamaan!

 

 

*Nasihat untuk diri sendiri: Perjalanan masih panjang prim, tetap semangat dan tetap bersyukur menjalani hidup!

 

Happy Blogging!


Cerita Lucu di balik Bintang Radio

Hehehehehehee… cerita ini ditulis karena Mbak Devi tiba-tiba menuliskan pernyataan di blognya bahwa saya dulu juara bintang radio, walah-walah gossip cepat beredar, serius saya bukan mau pamer bintang radionya tapi cerita lucu di baliknya… 😀

 

“Prim, anterin gue yuk daftar bintang radio!” seorang teman saya mengajak saya dengan penuh antusias. Dia adalah teman kuliah saya, juga teman satu kostan, dan juga teman satu paduan suara. Saya lupa kapan tepatnya, mungkin sekitar tahun 2007. Saya masih kuliah di Bogor pastinya.

Saya sempet bertanya sama teman saya, Bintang Radio apaan sih?

“Itu lho kaya ajang pencarian bakat, tapi di radio, sudah ada sejak jaman dahulu kala. Rio febrian, Titik Puspa, Ruth Sahanaya kan jebolan bintang radio!”

Saya cuma ngangguk-ngangguk. Membayangkan acara itu bakal rame dan dipenuhi ababil yang antusias ikut audisi seperti acara idol-idolan di tv 😀

Singkat cerita saya mengantar teman saya ke RRI Bogor. Jujur itu pertama kali saya ke radio milik pemerintah yang tertua itu. Ternyata suasana di sana tidak seramai yang saya kira. Teman saya buru-buru menanyakan di mana tempat pendaftarannya, dan sampailah kami di tempat pendaftaran.

Ternyata seleksi bintang radio di bogor ini adalah seleksi bintang radio untuk kawasan Bogor, Cianjur, dan Sukabumi, juara pertama akan beradu di Jakarta di tingkat Nasional. Si Ibu pendaftaran dengan antusias menjelaskan prosedur dan aturan mainnya kepada kami.

“Itu temennya gak sekalian daftar” seru si Ibu tiba-tiba menunjuk saya. Saya menoleh sambil pamer gigi: *maaf ye bu, saya cuma pengantar! 😛

“Prim, hayuk, ikut aja, sepi tau yang daftar!” teman saya seperti mendapat angin.

“Iya saya yakin pasti menang deh… “ Si Ibu makin giat merayu.

Akhirnya dengan menimbang kata : sepi pendaftar, saya mendaftar dan melayanglah duit Rp. 20.000.-. Oh iya, lagu wajib yang harus dibawakan peserta pria: Dealova – Once DEWA, dan sebagai lagu pilihan saya milih: Kejujuran Hati – Kerispatih. Eits, bukan saya ngoyo pilih lagu itu ya, lha dari 7 lagu pilihan yang saya tau cuma lagu itu! *gubrak 😀

**

 

Hari audisi telah tiba. Peserta yang datang banyak, yang pasti cewek dan cowok lebih dari 100, peserta pria saja kalau tidak salah sekitar 80 orang. Jangan tanya dandanan mereka, ngartis banget! Saya? Mahasiswa banget, kemeja, jeans, plus ransel yang digendong kemana-mana 😀

Saya juga malah lupa nomor peserta saya berapa, hahahahaha… Tiap peserta masuk ke dalam ruangan dan kemudian menyanyikan sepenggal lagu di depan 3 juri yang masing-masing mewakili profesi dalam bisnis entertainment *halah, katanya sih begitu. Yang saya ingat ada juri AMI Award di antaranya 😛 Ruangannya sih bener kedap suara, cuma corong speakernya ke luar! Wkaakakka… jelas kita bisa mendengar peserta di dalam yang sedang berdendang, alamak! Saya nervous! Dalam ati, sialan tuh teman gue ngajak-ngajak ikut audisi, bisa malu 7 turunan nih gue kalo false!

Nomor saya akhirnya dipanggil masuk ruangan. Saya masuk ke dalam, melihat 3 juri, dan dipersilahkan menyanyi. Kesalahan pertama saya adalah saya tidak hafal lirik dan mencatat liriknya di selembar notes, dan saya dengan lugunya nanya, “Boleh baca liriknya?” Seorang juri berkata dengan agak judes, “Kamu siap ikut audisi tidak?” Ya sudah, saya cuma berbekal ingatan, dan mulai menyanyi lagu kerispatih itu sampai reff pertama. Yes, beres!

Pengumuman hasil audisi dilaksanakan hari itu juga, 15 menit setelah semua peserta selesai audisi. Untuk penghematan waktu, mereka memutuskan langsung memilih 10 finalis, tidak seperti prosedur awal yang memilih 20 peserta pria, dan 20 wanita untuk semi final. Sehingga semua pserta mendengarkan pengumuman itu dengan hati cenat-cenut. Saya? Saya sih lempeng aja, karena emang gak ngarep apa-apa, coba-coba berhadiah aja.

Astaga! Nomor saya masuk 10 besar! Kok bisa? Teman saya yang ngajak saya malah gak masuk. Oh iya, dari 10 orang itu, ada vokalis band kampus juga, dari mukanya aja saya sudah kenal, dan kaget aja bisa kepilih satu final sama dia! Hihihihihiii.. mungkin suara saya gak jelek-jelek amat ya… 😀

Hari itu juga kita melakukan take nada dasar, konsul ke pianis dan guru vocal, pemotretan, plus ada latihan satu kali sebelum final, hahahahhaa… asyik juga lho pernah ngerasain jadi artis-artisan begini 😀

**

 

Seminggu berlalu, hari final itu tiba. Hotel Salak, Bogor menjadi saksi malam itu, manggung perdana saya, hahahahaa… saya cuma pake jas hitam, kaos garis-garis, jeans hitam ,dan sepatu putih. Dari semua yang saya pakai itu, cuma kaos yang memang asli punya saya, sisanya minjem! 😀

Para finalis menyanyikan lagu wajib dan pilihan secara bergantian antara pria-wanita. Saya nomor 6 kalau tidak salah. Oke lha, intinya saya tampil dengan memukau– sampe saya terpukau mengingat diri sendiri, ngapain aja tadi? Muter-muter di panggung tanpa tujuan, tangan kesana –kemari, mata ke langit-langit ruangan, hahahahhaa… bener-bener gak gaya! Amatir abis! Sudah lha, yang penting berani, ya kan… 😛

Oh iya supporter saya cuma dua teman kampus, Anto dan Ema, hahahahaa… gak kurang gak lebih! Seketika saya beres menyanyi, saya sudah yakin tidak menang, dan mengajak Anto dan Ema untuk cabut dari Hotel Salak, lokasi lomba.

“Serius lu mau balik, gak nunggu pengumuman??”

“Iya, gue dah lapar, kita cari makan dulu, terus balik ke kampus” Saya tanpa basi-basi melenggang meninggalkan ruangan bersama dua teman saya itu. Oh iya, sebelum pergi saya sempet pamit sama seorang finalis lain, kalau saya balik dulu, terus dia tanya, kenapa? Saya jawab sekenanya: Gue laper!

Seafood pinggiran jalan akhirnya menemani makan malam kami, entah kenapa saya jadi laper banget setelah adegan uji nyali di atas panggung itu. Saya dan dua teman saya itu sempat foto-foto, membahasa penampilan “autis” saya, dan becanda seperti biasa. Kita pun naik angkot dan pulang ke kampus Darmaga.

Tiba-tiba saat saya di atas angkot, teman sya menelepon.

“Cuy, Selamat lu juara 5, Gile keren, keren…, gue dengerin barusan di radio!”

Saya sempet bengong… beneran tuh?

Saya dengan lugunya bilang, “Cuy, gue di angkot lho mau pulang ke kostan”

“Haaaaahhhhh??? Gila lu!”

 

Sodara-sodara ternyata saya juara 5 dari 10 finalis itu, hahahahahaaa.. dan juara yang mendapat hadiah adalah juara satu sampai enam. Artinya nama saya dipanggil dan maju ke depan menerima piagam, hadiah, dan foto bareng. Tapi semua terlewatkan, karena saya dengan antengnya sudah duduk manis di dalam angkot! *Gubrak

Tidak lama, teman finalis yang tadi saya pamitin, menelepon saya.

“Prima! kamu pulang? Nama kamu di panggil, aku juara 3, kamu juara 5”

“Aku dah di angkot tuh, hahahahahaha”

“Oh, iya tadi aku bilang, kamu dah balik duluan, cari makan, wakkakakaka, akhirnya kamu diwakilin juri”

“Hahahahahahaha” alasan yang sempurna banget kan, sempurna dodolnya… 😀

**

 

Besoknya saya ke RRI untuk ambil hadiah. Semua tim melihat saya seperti geregetan campur bingung karena tadi malam saya tiba-tiba kabur. Mereka menyayangkan ketidakhadiran saya, padahal banyak acara ini itu setelah final itu. Jangan tanya deh gimana mereka mewawancarai saya kesana –kemari. Saya cuma jawab, saya gak yakin menang, makanya pulang duluan 😛 HUffff… Emang saya lagi gak rejeki waktu itu, jadi gak ikut merasakan indahnya panggung juara  😛

Meskipun cuma juara 5, hadiah souvenir dan tabungannya lumayan bisa bikin tersenyum. Saya pun pulang bersama mobil teman saya, dengan membawa trophy berbentuk mic itu dengan mata tidak percaya, ya ampun, kok bisa ya???

BTW, si vokalis band yang ikut final malah gak juara lho… Hahahahahah… *nyombong colongan. Oh iya, saya sekarang malah kangen pengen nyanyi-nyanyi lagi, cuma kok makin hari suara makin seret dan gak jelas lagi… *kayanya kebanyakan makan gorengan bikinan mama, gak gak gak… 😀

Anyway, Thanks ya RRI Bogor yang sudah memberikan kenangan lucu ini 😀

Happy Blogging!


PS: Akan ada kuis lho di blog ini dalam waktu dekat, tunggu pengumamannya ya! ^^


Hal Kecil yang Merusak Harimu

Sahabat,

Tidak ada yang lebih mengesalkan daripada suatu hari berakhir dengan kesia-siaan dan kesedihan. Banyak hal dalam keseharian kita terjadi di luar rencana dan hal-hal itu bisa jadi sesuatu yang sepele yang membuat runyam satu hari itu, hingga hari itu berakhir. Apa yang kita dapatkan? Tidak ada, kecuali hikmah bagi mereka yang tulus dan melihat (Suhana, 2011).

 

Kemarin hari yang cukup mengesalkan bagi saya. Di saat hari itu saya sudah saya susun sesuai rencana dan rutinitas, tiba-tiba hardisk portable saya tidak bisa terdeteksi oleh laptop! Hah, saya kalang kabut, saya sedang membutuhkan sesuatu di dalamnya yaitu suatu foto yang saya akan pasang di sebuah postingan. Saya stress, dam memusatkan pikiran untuk menemukan solusinya.

 

Siang itu berlalu dengan acara ubek-ubek Google untuk menemukan ada apa dengan si hardisk. Lama sekali dan beberapa cara saya lakukan, tetapi hasilnya nihil. Laptop sudah saya restart berkali-kali, tapi tetap semua berakhir dengan nihil. Mungkin ini akibat saya menginstall ulang windows beberapa hari yang lalu, atau ada sebab lain? Padahal belum selesai kesibukan saya menginstal ulang program ini itu, masalah hardisk muncul tanpa diduga. Saya tidak boleh menyerah!


Saya pergi setelah makan siang ke kantor teman untuk sebuah wifi gratisan berkecepatan tinggi :mrgreen: , maksud hati agar proses perbaikan ini bisa lebih cepat dan gak perlu terhambat oleh masalah internet. Oh iya, sebelumnya saya sempat pergi ke tukang servis dan memeriksa kabel USB hardisk saya yang original untuk diperiksa, dan saya dengan USB pinjaman card reader berusaha sendiri menemukan solusinya *sok ngerti ya… :mrgreen:

 

Hari sudah sore dan suara mesjid mulai berkumandang menyerukan suara-suara orang mengaji, tanda magrib akan tiba. Saya tersadar dalam keputus-asaan dan kenihilan. Apa yang saya sudah lakukan seharian ini? Seharusnya saya bisa lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah, update blog, belajar bahasa inggris selepas makan siang, dan pergi berenang sorenya. Tapi semua lewat begitu saja, hanya karena mood yang tidak nyaman, hanya karena sebuah masalah kecil: hardisk!

Saya terdiam, berpikir dan menyesal.

 

 

Sahabat,

Pasti kita semua pernah mengalami hal yang sama. Di saat mood kita berubah 360 derajat dan semua yang telah kita rencanakan menjadi berantakan satu demi satu, hanya karena ego kita sendiri, hanya karena kita mengikuti emosi sesaat, hanya karena kita merasa masalah itu terlalu penting, dan hari itu semua hanya terpusat pada masalah yang itu-itu saja. Kita terhenti pada satu titik dan meninggalkan semua yang seharusnya bisa kita lakukan. Hal-hal lain yang berguna dan membuat hari kita lebih berharga.

 

Tidak adil rasanya jika kita harus mengorbankan satu hari berharga kita hanya dengan suatu hal yang sepele dan tidak prinsip. Banyak hal dari kegiatan saya yang akan lebih berarti dari sekedar mikirin hardisk! Banyak hal sepele seperti itu terjadi di sekitar kita. Ada seorang yang gila komputer yang melupakan jeritan perut laparnya, hingga melupakan makan siang. Ada seorang ibu yang kehilangan dompet di pasar, kemudian menjadi mengurung diri di kamar dan enggan memasak. Ada yang punya masalah di kantor sehingga malah cepat naik darah saat anaknya berisik di rumah, dan banyak lagi hal -hal kecil yang mungkin merusak hari kita.

 

Seorang teman berkata pada saya, pada saat-saat seperti itu kita perlu yang namanya cuek! 😀 Profesional dalam melihat masalah rasanya suatu kata yang tepat untuk ini. Kita harus tetap jernih pikiran melihat seberapa penting masalah ini menyita waktu dan pikiran kita. Apakah masalah itu perlu menjadi prioritas kita? apakah ada prioritas-prioritas yang lain? Apakah kita bisa tetap “berjalan ke depan” di saat kita “terluka”? Tetap tersenyum saat masalah menghujani kita, dan mengakhiri hari ini tetap dengan senyuman?

 

“Everything will be just fine, and I’ll find my way”

Tidak ada yang kalah saat kita menyerah untuk sementara pada suatu masalah. Bukan berarti kita menghindari suatu masalah, tetapi hanya menomor 100 kan saja. 😀 Kita bisa menghentikan semua pikiran negatif, mood yang jelek, dan keras kepala tanpa akhir itu dengan sebuah kesadaran, bahwa segalanya tetap harus berjalan seperti biasa, seperti yang kita inginkan. Kita bia mengumpulkan masalah kecil itu dalam sebuah kotak kecil, menyimpannya di sudut pikiran kita, menutupnya dan berkata: OK, what’s next? 🙂

 

Senja itu saya menutup laptop, menyimpan hardisk itu di sudut tas, pulang ke rumah dengan sebuah senyuman. Bukan karena saya berhasil mengatasi masalah, tetapi karena saya sadar, hardisk itu tidak berhak mengambil keindahan sisa hari saya! Mari kembali beraktivitas! 😀

 

Sahabat jangan biarkan hal-hal kecil merusak harimu! Kamulah sang tokoh utama, bukan masalah itu!

Semangat!

***

 

Keep Going!

 

Jangan biarkan satu masalah kecil hari ini, melenyapkan semua rencana dan kebahagiaan yang lain… Cukup letakkan di sebuah kotak kecil, dan simpan di dalam pikiran, sambil berkata: “What’s next?” 🙂 (Yesterday’s facebook status of me)

Antara Benci dan Lupa

Teinspirasi dari banyaknya perceraian suami-istri, penghianatan kekasih, perpisahan persahabatan, orang tua yang tinggalkan anak-anaknya dan anak-anak kecil yang ditelantarkan… ini hanyalah cerita yang akhirnya ditentukan oleh kita sendiri…

 

Dahulu kala hiduplah seorang Ibu miskin yang hidup kesepian di sebuah desa. Kehidupannya telah berjalan 10 tahun semenjak suaminya yang seorang sang petani meninggalkan dunia ini. Ibu itu hidup dengan berkebun di halaman belakang dan mencari kayau bakar setiap hari. Kehidupannya yang sederhana dan tercukupi, tetapi hatinya selalu kesepian karena tidak adanya kehadiran buah hati dalam rumahnya.

Bertahun-tahun Sang Ibu memohon pada Dewa agar diberikan seorang anak yang lahir dari rahimnya. Sesuatu yang mustahil memang, tetapi si Ibu tidak pernah berhenti berdoa untuk memohon keajaiban itu datang. Hingga pada suatu malam Sanng Ibu bermimpi. Dewa datang dalam mimpi Sang Ibu.

 

“Wahai ibu yang kesepian, aku akan memberikan seorang anak laki-laki padamu. Dia adalah anak laki-laki yang cerdas, rupawan dan kuat. Dia akan menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini kelak. Tetapi akan ada balasan dari kebahagiaan ini, sesuatu yang harus kau bayar saat dirinya berusia 17 tahun.”

 

“Balasan apakah itu?”

 

“Air matamu”

 

“Hanya itu kah?”

 

“Kelak saat dia berumur 17 tahun, aku akan datang kepadamu dan menagih janji itu”

 

“Baiklah dewa, aku menerimanya..”

Si Ibu tidak mengerti arti airmata itu, dia hanya berpikir sebuah kebahagiaan akan menghampirinya segera. Ya seorang anak laki-laki akan terlahir sebagai anaknya. Anak laki laki yang kelak akan menjadi orang besar di negeri ini.

 

Sang anak pun lahir di dunia. Bertahun-tahun sang Ibu hidup bahagia bersama anaknya tersebut. Hidup mereka dipenuhi senyum dan tawa hingga sang anak kini hampir berusia 17 tahun. Anak itu kini sudah menjadi pemuda yang gagah, cerdas dan kuat seperti apa yang diucapkan oleh dewa. Tidak tanggung-tanggung kecerdasan dan keberaniannya telah membuat putri raja jatuh hati padanya dan memintanya untuk meminangnya. Sang anak mengatakan pada Ibunya akan menikah dengan putri raja tersebut tepat saat usianya 17 tahun. Lalu kelak mereka akan tinggal di istana bersama. Sang Ibu tentu sangat bahagia dengan rencana itu.

 

Suatu malam menjelang sang anak berusia 17, Dewa datang dalam mimpi sang Ibu.

“Wahai Ibu yang kesepian, aku datang menagih janjimu 17 tahun yang lalu”

 

“Akan kutepati janji itu, sebutkan permintaanmu…”

 

“Kau harus memilih satu dari dua pilihan… Pilihan pertama, anakmu akan membencimu seumur hidupnya, hidupmu akan menderita sampai akhir hayat meskipun kau tinggal dan hidup bersamanya. Kebenciannya kepadamu akan melebihi 1000 kebencian yang ada di dunia ini… Pilihan kedua, anakmu akan melupakanmu, kamu akan ditinggalkan sendiri seperti dulu kala saat kau masih sendiri. Semakin dia berusaha mengingatmu, semakin dia akan melupakanmu. Dia akan melupakanmu sampai akhir hayatnya”

 

Sang Ibu terdiam mendengar dua pilihan sulit itu. Air matanya kini menetes di pipinya.

 

“Jawablah, manakah yang kau pilih?”

***

Sahabat, jika sahabat menjadi Ibu itu, apakah jawaban sahabat? Sahabat lebih memilih mana?

Bayangkan jika sahabat menyayangi seseorang dan harus mengalami perpisahan dengan pilihan yang sulit seperti ini. Saya tidak tahu hikmah dari kisah  saya ini, tetapi saya punya pilihan sendiri, alasan sendiri dan hikmah sendiri.

 

Bagaimana dengan sahabat?

 


Surat kepada Teman…

Hanya sebuah surat biasa berisi harapan dan doa…

 

Pelaihari, 9 Februari 2011

Teruntuk teman-temanku dari SD Tuntung Pandang di seluruh Indonesia,

Teman-teman,

reunian pertama

Semalam, sekali lagi aku bertemu dengan teman masa kecil kita. Donny. Bersama dengan Yeni, teman kecil kita juga, kami bertiga makan malam di sebuah restauran sederhana. Jangan ditanya bahagianya aku saat itu dan apa saja yang kami bicarakan saat itu. Meskipun hanya beberapa jam, tetapi rasanya sudah mengobati rasa kangen aku, sekaliguas membangkitkan perasaan sentimental aku. Sensasinya luar biasa… sayangnya  aku lupa mengambil gambar, jadi gak bisa pamer deh… 😀

Sebelum ini aku juga bertemu dengan beberapa dari teman masa kecil kita. Nana, Astri, Shinta, dan Risa. Mereka sebagian sudah berkeluarga dan memiliki momongan. Lagi-lagi sensasinya luar biasa. Masih banyak teman-teman lain yang aku temukan, tetangga, dan adik kelas, yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.

Jika cerita dari awal, kita ingat kita adalah anak-anak dari SD Tuntung Pandang, SD yang sudah tidak ada lagi. SD itu ditutup bersama ditutupnya PG Pelaihari, Kal-Sel sekitar tahun 2000-2002. Kita bisa membayangkan, kita dulu tinggal ditempat yang terisolisir dari daerah perkotaan, jauh di tengah hutan dan kebun tebu. Kota kecil bernama perumahan PG Pelaihari itu seperti menjadi rumah masa kecil kita. Sebagian besar dari kita menghabiskan masa TK dan SD di sekolah yang sama, di perumahan yang sama yang jaraknya tidak berjauhan. Meskipun begitu rasanya itulah yang membuat kita lebih dekat satu sama lain.

Waktu bergulir. Satu demi satu dari kita pergi untuk berbagai alasan. Ada yang ikut orang tua pindah ke Jawa, ada yang pindah ke kota lain, ada yang tinggal di sekitar kota Pelaihari, tetapi yang pasti, tidak ada lagi yang tinggal di dalam perumahan itu. Semua sudah tersebar ke penjuru pulau-pulau di negeri ini. Aku sendiri meninggalkan tempat ini setelah SD. Aku mengambil sekolah menengah di Banjarmasin, 50 km dari Pelaihari, kemudian, pindah lagi ke Bondowoso, Jawa Timur, dan kuliah di Bogor. Setelah 13 tahun rasanya, secara resmi, akhirnya aku kembali lagi ke tempat masa kecil kita, Pelaihari.

Terkadang, hikmah selalu kita sadari di akhir, inilah hikmah aku sebagai pengangguran. Aku sekarang mau tidak mau tinggal bersama orang tua di rumah kami yang baru, bukan perumahan seperti dulu, rumah biasa yang sudah terpisah-pisah dengan rumah teman-teman semua. Dari situlah, Tuhan memberikan aku bingkisan manis di antara kesedihan, ya, Tuhan memberikan aku sedikit waktu untuk kembali bertemu dengan masa lalu kita, tempat-tempat penuh kenangan itu dan teman-teman yang pernah mewarnai masa kecil kita. Sungguh aku bersyukur dan terharu.

Menemukan teman-teman dari  masa kecil itu memiliki caranya masing-masing. Bertemu di FB, info dari teman lain, sms, telepon, bertemu langsung dan lain sebagainya. Tuhan mengatur kebetulan-kebetulan ini dengan sangat apik. Jika saja aku tidak pulang ke tempat ini, mungkin aku tidak punya kesempatan lagi berada di sini dan bertemu dengan mereka. Siapa yang tau kan ?

Setiap dari kita memiliki kenangan yang sama, yang kita simpan masing-masing dalam ingatan. Pahit dan manisnya akan sama menjadi kenangan yang indah dan patut dikenang. Ingat kah kita bunyi lonceng sekolah? Jalanan aspal yang berbatu dan berdebu itu? Rumput dan pepohonan yang kita lewati setiap pagi? Peluit permainan kasti setiap kita berolah raga? Sepatu – sepatu yang berderap saat kita senam setiap pagi? Matahari yang panas saat kita pulang sekolah? Penjual es dan pentol yang setia menunggu di luar pagar? Kantin sekolah yang selalu penuh sesak saat istirahat? Keusilan teman-teman kita? Hukuman-hukuman dari guru yang membuat kita kesal? Acara masak-masak di depan kelas? Persiapan ujian? Hingga akhirnya kita kini sudah bukan anak-anak lagi, dan tempat itu sudah tidak ada lagi… semua hanya ada di ingatan kita masing-masing…

Menemukan kalian satu demi satu seperti sedang membuka gudang tua bernama ingatan, membuka kotak-kotak berdebu itu. Isinya penuh kenangan-kenangan yang tertulis rapi meskipun beberapa sudah mulau usang. Satu demi satu, ku buka dan semua masih sama. Tidak berubah termakan waktu. Tuhan masih menjaga kotak-kotak tua itu, menjaga ingatanku tentang kalian, menjaga rasa sayang yang pernah ada di antara kita. Sungguh aku tidak pernah sedikitpun menyesalinya.

Kita mungkin hanya segelintir manusia biasa, yang punya kenangan biasa yang tidak seindah film-film, tetapi Tuhan begitu sayangnya, membekali kita dengan kapasitas ingatan yang luas dan dalam, menyimpan semua dengan sangat rapi di dalamnya. Tidakkah kalian ingin sesekali membukanya, membersihkan debu-debunya, mengenangnya, dan memastikannya baik-baik saja? Ya, itulah aku dan aku bahagia bisa melakukannya.

Foto dan video mungkin bisa menyimpan banyak kenangan, tetapi ingatan kita menyimpan kenangan jauh lebih banyak dan sulit terhapus…

Teman-teman,

Aku tahu masing-masing dari kita kini sudah banyak berubah, masing-masing dari kita memilih jalannya masing-masing. Kini memang tidak sama dengan dulu. Bahkan ratusan bunga tidak akan sama meskipun lahir dari pohon yang sama, dan aku satu diantara bunga itu yang sedang mencarimu, yang merindukanmu, yang ingin melihat senyum-senyum itu lagi. Apakah kalian juga sepertiku yang mencari jejak-jejak masa kecil kita yang sudah semakin hilang?

Jutaan tunas bunga bermunculan di musim semi, beberapa tumbuh dan mekar, dan beberapa gugur ke tanah. Mereka mempunyai jalannya masing-masing, tetapi mereka tidak pernah melupakan beratnya musim dingin yang pernah mereka lalui bersama.

Teman-teman,

Sungguh senang menemukan kalian lagi satu demi satu. Semoga suatu hari kelak, kita bisa bertemu dan mengadakan temu kangen, meskipun mungkin wajah kita tidak lagi semuda dulu. Tetaplah menjaga serpihan-serpihan yang hampir hilang itu. Aku di sini sedang mencarimu juga. Semoga Tuhan mendengar doa kita untuk dapat bertemu lagi suatu hari nanti.

 

Salam kangen selalu,

Dari teman masa kecilmu,

 

Prima

PS: aku lampirkan beberapa potret yang mungkin bisa menyegarkan ingatan kita… tidak perlu aku tulis foto-foto apa ini, kita semua sudah tau…




 

Aku pernah menuliskan dan melampirkan banyak foto tentang tempat ini dalam postingan:

Tentang sekolah kita…

Tentang Pantai Takisung…

Tentang Dam Ranggang…

Tentang air terjun bajuin..

Dan lain-lain, kalian bisa menemukannya dalam kategori “Kalimantan” di bar kanan blog ini…

Terimakasih teman… 🙂


Saat-Saat Aku Membenci Mama

Tulisan yang terisnpirasi dari buku: For One More Day, by Micth Albom. Didasari dari kisah nyata semasa saya kecil yang disajikan secara fiksi. Untuk semua Ibu, please enjoy… semoga! 😀

 

 

Aku segera mengancingkan seragam putih yang masih bisa kucium wangi sabunnya. Kemudian disusul celana pendek warna merah dan dasi kusam bertali karet. Hari itu hari senin, hari saat upacara bendera dilaksanakan, 30 menit lebih awal dari hari biasa, dan aku melakukan kesalahan besar pagi itu. Bangun terlambat.

 

Rambutku masih basah kuyup. Ku raih tas ransel warna merahku, topi yang tergantung dan kaos kaki dari dalam lemari yang digulung menyerupai bola. Aku sekilas melihat mama hilir mudik di dapur. Ini tidak akan sempat! Aku sempat melihat wajah mama yang ikut panik mendengar derap langkahku di dalam rumah. Aku segera menyeret sepatu yang sudah kucuci hari minggu kemarin dari rak dekat pintu belakang.

 

“Sarapan dulu…” Mama mencoba tenang.

“Ma, aku terlambat” Aku melotot  sempat tidak percaya kalau dia masih sempat memintaku untuk sarapan, seperti biasa.

“Nggak ! Kamu harus sarapan”

“Nggak!”

Bagaimana mungkin aku bisa sarapan, sedangkan aku mungkin tidak akan sempat mencapai sekolah tepat waktu.

“OK, Mama yang suapin”

 

 

Pagi itu mataku hampir berair karena aku tahu aku saat itu benar-benar terlambat. Mama masih menyuapiku, tepatnya memaksaku untuk mengunyah isi piring sarapanku. Mulutku masih meraung-raung sambil mengenakan kaos kaki dan sepatu.

 

“Nggak telat kok, bilang ke gurumu, mama yang suruh sarapan dulu”

Mama membela diri dengan sesuatu yang sudah pasti tidak mungkin aku lakukan. Aku geram. Bahkan pagi inipun aku terlambat bangun karena mama terlambat membangunkanku. Pagi itu seorang anak kelas 4 SD melewatkan menit-menit keterlambatannya dengan mengunyah sarapannya di teras depan rumah.

 

“Sudah!” aku segera meraih sepeda dan melarikannya secepat kilat menuju sekolah. Aku bahkan tidak peduli dengan sosok wanita yang masih memegangi piring yang masih tersisa setengah, berdiri melambaikan tangan.

 

Seperti yang aku takutkan. Pagi itu aku berada di barisan istimewa. Yaitu barisan anak-anak yang terlambat. Berdiri di dekat pagar sekolah. Ada sekitar 7 anak, dan aku salah satunya. Sampai upacara selesai, kami masih berdiri di tempat itu. Sebelum upacara dibubarkan, seorang guru entah bagaimana tiba-tiba meraih mic dan berucap bahwa kami adalah salah satu contoh anak tidak disiplin yang mendapat hukuman jika terlambat upacara. Semua anak berbalik badan. Ratusan mata melihat kami, melihat wajahku. Anak-anak mulai membubarkan diri dan mengambil sampah di sekeliling sekolah sebagai suatu rutinitas pagi. Beberapa orang yang mengenalku memandangku dan kemudian mulai berbisik-bisik. Aku cuma terdiam dan menunduk. Aku ingin sekali menaangis, tapi aku tidak mungkin menangis.

 

Lima belas menit setelah itu, seorang guru mulai menanyakan alasan keterlambatan kami masing-masing. Aku menjawab dengan jawaban klasik, aku bangun kesiangan. Aku tidak mungkin berkata ini semua karena masalah sarapan. Kami  dihukum membersihkan teras di depan ruang kepala sekolah selama 15 menit, tetapi itu terasa seperti satu jam. Semua kelas bahkan bisa melihat kami sedang menyapu di sana. Ini memalukan.

 

Aku memasuki kelasku dengan wajah paling buruk sedunia, bajuku kusut karena mama tidak sempat menyetrikanya pagi itu. Keringat membasahi sebagian lengan dan dahiku. Aku benar-benar terlihat menyedihkan pagi itu, dan seluruh isi kelas seperti sedang mengasihaniku sekaligus menertawakanku.

 

Entah aku lupa karena apa, sekolah hari itu berakhir lebih awal. Kami dipulangkan sekitar pukul 10. Aku kembali ke rumah dengan peluh yang masih belum kering. Aku sengaja mempercepat laju sepedaku, dan berusaha secepat mungkin pergi dari tempat paling tidak nyaman bernama sekolah.

 

“Prim, pulang pagi? Gimana tadi di sekolah? Gak terlambat kan?”

Mama tanpa bersalah membanjiriku dengan pertanyaan sepele yang malas aku jawab. Aku memandangnya sebentar di dapur, wanita itu sedang menggoreng perkedel jagung dengan peluh di dahinya. Aku bisa lihat wajahnya yang kelelahan. Aku cuma diam seribu bahasa. Mama tahu arti pandanganku. Pandangan yang dia kenal semenjak aku kecil. Dan aku berusaha memalingkan muka, meletakkan sepatuku di rak.

 

“Prim…prima…”

 

Aku segera berlari ke kamarku dan berharap mama tidak mengikutiku. Sempat kudengar suara tangis adikku yang berumur belum genap setahun dari kamar yang lain. Ku tutup pintu kamar dan kuhempaskan tubuh di ranjangku yang kecil.

 

Ada yang terbakar di dalam rongga dadaku, sesak dan seolah memaksa air mataku untuk keluar. Aku tidak peduli mengapa mama memanggilku tadi. Sarapan tadi pagi adalah kesalahan terbesar hari ini. Mama tidak pernah sekalipun mengerti aku. Mama tidak pernah tahu sakitnya aku. Aku benci mama saat itu, dan dia tahu itu.

***


Tahu = Menderita

Kali ini saya membahas sesuatu yang  sebenarnya gak penting, tapi sok dibikin penting 😀

 

“Orang yang banyak tahu adalah orang yang paling menderita”

 

Kira-kira begitu perkataan Aristoteles yang pernah saya baca di suatu majalah waktu saya kecil, sewaktu SMP, saya sempat memikirkan kata-kata singkat ini, apa maksudnya ya?

 

Terdengar iseng memang memikirkan sesuatu hal yang gak penting seperti itu, cuma toh akhirnya saya menemukan jawabannya tanpa harus membaca buku, buka internet, atau dikasih tahu oleh orang lain, benar-benar pemikiran lugu seorang remaja belasan tahun 😛

 

Siapa orang yang banyak tahu?

Ilmuan, presiden, jendral, direktur, ulama, pelajar, kepala desa, kepala keluarga, dan lain-lain, setiap orang memiliki tingkat ke-tahu-an yang berbeda.

 

Siapa yang paling tidak banyak tahu?

Binatang, Bayi, anak-anak, orang gila, idiot, apatis, dan sejenisnya.

 

Antara dua golongan itu, siapa yang lebih riweh? Siapa yang lebih banyak pikiran? Siapa yang paling menderita? Terjawab kan… Hahahahahah…

 

Kasus 1:

Waktu kecil kita tidak tahu kalau tanaman butuh air untuk hidup. Kita cuek.

Kemudian saat kita SD, kita tahu bahwa tumbuhan butuh air. Kita menyiram tanaman.

Kemudian saat SMP-SMA, kita tahu tanaman butuh air untuk fotosintesis. Kita menyiram tanaman tiap hari secara teratur.

Saat dewasa kita mengenal kebutuhan air dan sifat tanaman, maka kita menyiram tanaman dengan “teknik”, tidak asal siram.

 

Makin ribet kan? Karena kita pada dasarnya kita makin banyak tahu. Orang gila di luar sana? Lempeng aja tuh…

 

 

Kasus 2:

“Mau kemana malam-malam begini?”

“Ke rumah temen di kampong sebelah”

“Lewat kuburan itu? Kan sering penampakan di sana..hiiiiiiiiii”

“serius???”

Kita kepikiran deh, ngayal aneh-aneh, akhirnya malah gak jadi berangkat. Siapa yang menderita? Yang tahu atau yang gak tau? 😀

 

 

Kasus 3:

“Putrinya belum nikah bu?”

“Belum”

“berapa umurnya?”

“28”

“Anak gadis lewat 30, suka susah cari jodohnya lho bu…”

“Hah? Beneran?”

Bingung deh si Ibu mikirin putrinya, sampe gak bisa tidur , hahahhaha…

 

 

Kasus 4:

“Jaaaannnngggg, belajar! Maen terus! Kapan ulangan?”

“Besok mak!”

“Ya ampuuunnn, buru belajar, maen mulu ah!”

“Santai aja mak, gampang….”

Si emak lebih tahu gimana sulitnya yang namanya ulangan jaman sekarang, jadi dia lebih stres mikirin anaknya daripada anaknya sendiri, Hahahahaha….

 

 

Kasus 5:

“Gue harus belajar TOEFL dengan serius”

“Emang kenapa?”

“Buat beasiswa lha…”

“Untung beasiswa gue dalam negeri, gak perlu TOEFL gede…”

 

Orang menjadi belajar karena suatu alasan dan tujuan, orang menjadi menderita karena dia tahu apa tujuannya.

 

**

Sahabat,

Aristoteles menulis kata-kata itu memang tidak salah menurut saya, bahkan ternyata itu sangat manusiawi. Sangat polos. Tidak ada sebenarnya manusia yang mau menderita di dunia ini. Sudah bawaan manusia pengennya bebas, senang, dan gak banyak pikiran. Tetapi manusia juga di bekali akal dan ingatan, yang membuat manusia mau- tidak mau punya keistimewaan untuk “TAHU”.

 

Dengan TAHU itu, manusia mendulang dua hal, ketinggian derajatnya di mata Tuhan dan manusia lain, sekaligus menjadi yang menderita di dunia ini. Semakin banyak tahu, kita semakin pintar, semakin kita menjadi manusia yang berbudaya dan bertakwa, tetapi di sisi lain, kita sebenarnya juga menjadi yang paling menderita, yang memikirkan segala hal, memikirkan “bagaimana” dan “mengapa”.

 

Jika sahabat adalah orang yang sering menderita batín dan pikiran, ditempa masalah bertubi-tubi sampai rambut mau rontok, stres ini dan itu, tangis dan sedih. Selamat! Anda mungkin adalah orang yang banyak tahu! Dengan kata lain, bisa saja derajat atau “nilai” anda di mata manusia lain atau Tuhan cukup tinggi! Bisa jadi itu suatu kebahagiaan di sisi lain! Be positive!

 

Siap TAHU? Siap Menderita! Siap Bahagia! 😀

***

 

Agar tidak terlalu menderita, saya kasih hadiah gambar cantik nih…

Nelumbo nucifera (Lotus)

Anda suka? Selamat anda sudah menyukai hasil jepretan saya 😀

 

PS: Maaf ya hari ini prima sedang sedikit… tengil :mrgreen:


Doa Nur

Sahabat, kali ini saya menulis cerita fiksi lagi, mohon maaf jika ada perbedaan paham, namanya juga fiksi :mrgreen:

 

Nur masih tertegun di bibir tangga masjid. Matanya kosong, seperti sedang menerawang entah kemana. Beberapa teman-teman seumurannya berlarian ke luar masjid, sesekali dibarengi gelak tawa dan senyuman. Orang-orang dewasa juga mulai meninggalkan masjid. Pengajian malam itu sudah selesai dan waktu telah menunjukkan pukul sembilan.

Gadis kecil berumur sebelas tahun itu menoleh ke arah seorang lelaki tua, dialah Ustad Lutfi yang mengisi materi pengajian hari ini. Matanya terus memandang orang tua itu sampai menghilang di kegelapan. Bibir Nur bergetar sesekali, seolah-seolah ingin menyampaikan sesuatu. Suatu pertanyaan yang mengganjal di hatinya sedari tadi.

Nur mengalihkan pandangannya. Dia urungkan niatnya untuk bertanya. Malam sudah makin larut. Nur kemudian meraih sandal jepit usangnya, memeluk sajadah dan mukena yang penuh jahitan, dan berjalan pelan.

Langkah kaki Nur sedikit pelan malam itu. Rumah Nur agak sedikit jauh dari masjid tetapi tidak pernah menghalanginya untuk pergi ke pengajian. Nur, gadis  kecil yang berani dan mandiri itu masih menerawang ke sebuah ucapan yang masih terngiang di telinganya. Ucapan yang membuat hatinya takut.

…Kemudian semua manusia akan di bangkitkan oleh Allah, dikumpulkan di suatu padang yang luas, bernama Masyar. Kita kan dibangkitkan sebagai manusia yang muda, kita tidak lagi saling mengenal, tidak lagi mengenal anak, istri, orang tua. Hanya diri kita sendiri yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan kita di dunia…

 

Secuil kalimat ustad malam itu seolah-oleh membuat Nur takut. Dia takut hari akhir itu tiba. Dia takut hari kebangkitan itu tiba. Dia takut akan sesuatu.

Nur meremas semakin kuat sajadahnya. Jalanan sudah sepi malam itu. Nur mempercepat langkah kakinya. Pikirannya melayang ke wajah Ibunya dan semua kenangan bersama ibunya.

Nur hidup sebagai anak yatim. Ibunya berjualan sayur setiap hari di pasar. Mereka hidup sederhana dan bahagia selama ini meskipun terkadang beratnya biaya hidup dan sekolah Nur terkadang membuat Ibu Nur harus bekerja lebih keras demi beberapa lembar rupiah. Rumah peninggalan ayahnya dari anyaman bambu itu menaungi mereka dari panas dan hujan. Meskipun begitu, Nur bahagia tinggal bersama Ibunya.

Nur, mengusap air mataya dengan kerudung putihnya. Air mata itu tiba-tiba mengalir pelan dari ujung matanya. Nur teringat akan kerja keras ibunya selama ini. Nur teringat dia pernah mengeluh karena harus menyicil biaya buku sekolah. Nur juga pernah mogok makan, hanya karena ibunya membatalkan janji menggorengkannya ayam hari itu. Nur pernah juga memaksa ibu untuk membelikannya majalah anak-anak, padahal Nur bisa saja meminjam pada temannya.

Ibu kini sudah sering sakit-sakitan. Batuk ibu tidak juga reda seminggu terakhir. Mantri puskesmas bilang kemungkinan ibu terkena TBC. Ibu, apa Ibu marah pada Nur? Apa ibu lelah bekerja? Apa ibu menahan sakit selama ini? apa Ibu tidak takut sendiri di rumah?

Air mata Nur semakin deras mengalir. Nur berlari menuju rumahnya yang sudah tampak dari jauh. Gadis kecil itu mengambil langkah tercepatnya. Sandal jepit itu menghantam batu jalanan dengan gesit, jilbab putih itu berkibar di tiup angin. Mata Nur sudah nanar. Bibirnya seperti ingin meneriakkan sesuatu. Ada sesuau yang ingin dia sampaikan kepada ibunya, sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin tidak bisa dia ubah.

 

Nur membuka pintu dapur dan menuju ke kamar. Ibunya sedang terbaring di sana. Bibir wanita tua itu jelas sedang tersenyum melihat anak semata wayangnya telah datang. Nur seketika memeluk wanita tua itu dan menangis tak terbendung. Badan kurus wanita itu tidak mengurangi hangatnya pelukan seorang ibu. Ibu Nur mengusap punggung anaknya lembut.

 

“Ada apa Nur? Kenapa nangis?”

 

Nur seperti tidak mampu membuka bibirnya. Air mata dan isakan itu masih menyelemuti wajahnya. Nur mendekatkan bibirnya pada telinga Ibunya. Bibirnya berbisik lirih.

 

“Bu, Nur takut. Nur nggak mau ninggalin Ibu, Nur gak mau melupakan Ibu…  selamanya…”

 

Wanita itu tersenyum, air matanya tak terbendung mendengar ucapan anaknya. Dia yakin sesuatu di pengajian malam ini menyentuh hati anaknya.

Gadis kecil yang masih begitu polos dan apa adanya itu masih memeluknya Ibunya, bibirnya bergetar dan berdoa malam itu. Sebuah doa yang mungkin tidak pernah diucapkan anak-anak lain. Doa yang mungkin tidak akan pernah terkabul.

 

Tuhan, jika hari akhir itu tiba. Kau boleh hapus semua ingatanku selama di dunia, tapi janganlah  Kau hapus ingatanku akan Ibuku karena aku tidak ingin dia sendiri dan kesepian.

***

 

Sahabat, hikmah cerita ini adalah:

  1. Jangan sia-siakan waktu bersama-sama orang tua kita, kita tidak tahu sampai kapan kita bisa bersama mereka dan sampai kapan kita bisa mengingatnya.
  2. Berbaktilah sebanyak-banyaknya kepada Ibu dan Ayah selagi mereka masih hidup.
  3. Ingatan kita dalah milik Tuhan. Tuhan bisa menghapus ingatan kita kapan saja.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di New BlogCamp.

*gambar dari sini


Melihat Malaikat

Sahabat, kali ini saya belajar menulis cerpen. Cerpen ini fiksi se-fiksi-fiksinya. Semoga menghibur :mrgreen:

 

Aruna, gadis belia itu tampak seperti gadis biasa kebanyakan. Sikapnya yang periang, ramah, dan lemah lembut tidak pernah menampakkan kegelisahan hatinya yang dia pendam selama ini. Tidak ada yang pernah tahu ada sebuah rahasia dalam hidupnya. Bahkan ayah dan ibunya sekalipun. Rahasia yang hanya dia simpan untuk dirinya sendiri.

Aruna, nanti malam ikut ya jalan-jalan ke mall sama anak-anak?

Nggak ah…

Kenapa?

Nanti malam hujan sangat lebat, banjir dimana-mana.

Kok kamu tahu?

Iya filing aja.


Aruna, jadi ikut lomba menulis cerpen di kampus?

Nggak, aku dah tau pasti kalah..

 

Aruna, aku sedih, hari ini aku kecopetan…hiks…

Sabar, sebentar lagi ada rejeki besar yang datang.

 

Aruna, Pak Tohar, ketua RT kita meninggal semalam!

Ya, aku sudah tahu…

Lho kamu kan semalaman tidur?

Ada yang bilang di mimpi.


Begitulah Aruna. Gadis itu terkadang membuat suatu peryataan sederhana yang menjadi kenyataan atau yang sudah dia ketahui. Bukan karena dia serorang peramal handal atau ahli nujum. Semenjak kecil Aruna mempunyai satu keistimewaan. Dia bisa melihat malaikat.

Makhluk gaib bersayap itu seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Aruna sudah biasa melihat kehadiran mereka di mana-mana. Di rumah, di pasar, di kantor, di kampus, di rumah sakit, di seluruh tempat di bumi ini. Makhluk-makhluk itu datang pergi, terbang hilir mudik di depan matanya, seperti tidak seorangpun melihat mereka. Awalnya Aruna hanya bisa diam memandang gerak-gerik makhluk bercahaya itu, tetapi dengan berjalannya waktu, Aruna kini mampu mengetahui alasan kedatangan mereka.

Aruna kecil dulu sering melihat sekawanan malaikat yang terbang hilir mudik di udara di atas langit rumahnya. Mereka seperti berdoa dan membawa berkah-berkah dari langit. Tidak lama, awan menjadi mendung, udara menjadi sejuk  dan turunlah hujan. Malaikat menyampaikan jawaban Tuhan atas doa-doa hambanya yang menginginkan hujan. Sejak itu Aruna tahu, kapan akan turun hujan dan kapan hujan akan turun sangat lebat. Dia cukup melihat gerak-gerik malaikat yang terbang di langit.

 

Aruna sering melihat malaikat datang kepadanya atau datang ke orang lain. Memberikan cahaya rezeki yang tertulis di lembaran yang mereka bawa. Itulah malaikat pembawa rezeki. Aruna tahu apakah dia akan mendapat rezeki istimewa hari ini, atau tidak sama sekali. Kadang kala Aruna juga bisa tahu apakah nasib buruk akan menimpa dirinya, atau orang lain.

Satu kali Aruna berkata kepada temannya untuk pergi ke kampus hari ini meskipun hari itu tidak ada kelas. Ternyata teman Aruna itu melihat pengumuman bahwa dirinya adalah penerima beasiswa luar negeri yang di umumkan hari itu. Aruna sudah mengetahuinya. Hari sebelumnya dia melihat seorang malaikat datang kepada temannya tersebut dan menyampaikan cahaya rezeki kepadanya.

 

Aruna bahkan bisa melihat malaikat pencabut nyawa yang selalu mengikuti seseorang di hari-hari menjelang kematiannya. Suatu hari Aruna sedang menunggu kereta di stasiun terdekat dari rumahnya. Hari itu adalah hari senin. Banyak sekali orang lalu lalang memulai aktivitas kerja. Aruna menangis pagi itu. Niat pergi ke kampus diurungkan. Dia pulang. Pagi itu Aruna melihat banyak sekali mahluk gaib itu hilir mudik di stasiun. Dia tahu sebuah kematian masal akan terjadi dalam waktu dekat.

Esoknya Aruna membaca di koran bahwa sebuah kereta mengalami kecekaan lepas dari relnya 100 meter dari stasiun itu, banyak korban meninggal berjatuhan. Aruna hanya diam, dia tahu hal itu akan terjadi. Seandainya saja dia bisa mencegahnya, begitu pikirnya.

 

Aruna adalah gadis yang kuat. Dia berusaha mengahadapi fenomena ini dengan sangat dewasa. Tidak jarang dia harus menjaga emosinya, mencegah ego, dan melupakan apa yang mungkin dan akan terjadi. Dia selalu berusaha tidak terbawa oleh perasaan untuk sekedar mengungkapkan kejadian yang akan terjadi di masa depan. Tidakkah semua sudah takdir, pikirnya. Tetapi Aruna hanyalah manusia biasa yang tidak selamanya kuat menahan gejolak hatinya sendiri. Hingga pada suatu hari segalanya menjadi berubah.

Aruna menemukan seorang pencabut nyawa di dalam rumahnya yang sederhana. Aruna terkejut, siapa? Ternyata malaikat itu mengikuti ibunya. Aruna  menjadi lemas dan menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ibunya. Ibunya bertanya ada apa? Aruna hanya memandang ibunya dan berkata: Jangan pergi Ibu…

Ibu Aruna hanya tersenyum dan memeluk anak gadis satu-satunya dan berkata; Aruna, Ibu masih di sini kok…

 

Aruna bangkit mengambil tas ranselnya, dan memasukkan beberapa baju ke dalamnya.

 

Bu, kita pulang ke rumah Mbah di Jogja

Kok mendadak Run?

Nanti saja bu penjelasannya, kita naik pesawat hari ini, Aruna yang bayar.

 

Aruna masih berlinang air mata pagi itu. Pesawat pukul 2 siang memberangkatkan Aruna dan ibunya ke Jogja. Ayah sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Aruna tidak mau kehilangan Ibunya kali ini. Orang yang paling berharga baginya.

Sepanjang perjalanan di atas pesawat. Aruna tidak lagi melihat malaikat itu. Aruna sedikit lega. Dia tersenyum  sambil mengucap semua yang ada di hatinya kepada ibunya. Ucapan sayang dan terimakasih.  Aruna sadar dia tidak bisa kehilangan wanita tua di hadapanya itu.

Tetapi takdir tidak bisa di cegah. Beberapa jam setibanya di Jogja. Ibu Aruna menghembuskan nafas terakhirnya di dekapan Ibunya, nenek Aruna sendiri. Sakit jantung itu sudah merenggut nyawa Ibu Aruna malam itu.

 

Pergi! Jangan ambil Ibuku! Pergi!

Begitulah Aruna menjerit sejadi-jadinya kepada malaikat yang ternyata muncul saat itu. Malaikat yang ternyata tidak pernah pergi, malaikat yang sama yang mengikuti ibunya. Dia masih mengikuti Ibu Aruna sampai ke Jogja.

Tuhan, aku sudah membawa Ibuku sampai sejauh ini, mengapa malaikatMu masih mengikuti?

Aruna hanya terisak memeluk jasad ibunya. Malam itu Aruna mencium bau harum seiring perginya malaikat membawa roh Ibunya. Aruna sadar dia tidak mampu mengubah takdir. Sekalipun Dia mengetahuinya.

**

 

Puluhan tahun berlalu. Aruna tua telah menikah dan mempunyai 5 anak yang telah dewasa.

Sore yang hangat itu Aruna tua duduk di beranda rumah. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum.

Si bungsu kemudian duduk di sebelahnya.

 

Mama, aku sedih mama kini tidak bisa melihat…

Anakku, aku sudah tua, mata inipun sudah tua,  dan aku bahagia Tuhan telah menjawab doaku.

Doa apa ma?

Agar aku tidak lagi melihat malaikat.

Picture: http://www.google.com, edited by me.

 

Sahabat, kita kadang ingin mengetahui bagaimana masa depan itu, tetapi tidak selamanya mengetahui masa depan itu baik akhirnya. Jalanilah hidup ini dengan optimis, tanpa prasangka, tanpa beban, segalanya telah diatur olehNya, dan kita hanya cukup menjalaninya dengan yang terbaik yang bisa kita lakukan.


Award: You’re My 1st Friend

Sahabat,

Di awal tahun ini, setelah kurang lebih 4 bulan ngeblog,  saya ingin berbagi suatu award kepada teman saya… Ini adalah award kedua saya setelah award pertama saya untuk Mbak Iyha a.k a. adverthiya.blogdetik.com beberapa bulan yang lalu…

Ini dia awardnya!

 

Award bertajuk : You’re My First Friend ini adalah sebuah apresiasi kepada sahabat saya yang menjadi sahabat dunia maya yang pertama bagi saya, dan tentu saja sampai sekarang masih menjadi sahabat yang suka mampir di blog saya. Anyway, ini asli buatan saya sendiri lho 😀

 

Award ini saya persembahkan untuk:

 

1. Hendro a.k.a Kamayhttp://kanvasmaya.wordpress.com

Sahabat saya ini aslinya memang teman saya sewaktu duduk di bangku SMA, saya memberikan award ini karena dia lha yang membuat saya memutuskan untuk membangun blog ini. Awalnya dia cerita kalau dia sedang asyik berblogging ria, dan menurut dia blog itu banyak manfaatnya. Saya pun berkunjung ke blognya. Maka munculah ide untuk membuat blog ini, yang awalnya hanya berisi photo-photo hasil jepretan saya.

Makasih ya hendro, you are the inspirator! My first friend as well…

 

 

2. Hani a.k.a. Pendar Bintang, http://pendarbintang.wordpress.com/

Sahabat yang satu ini saya temukan di salah satu list blogroll dari blog kanvas maya, namanya menarik buat saya! Eh ternyata dihuni oleh seorang gadis cantik pula benama Hani yang asli malang *sama kaya tempat lahir saya* Hani banyak memberikan komentar hampir di setiap post saya semenjak saya mempunyai blog, dia orang lain selain Kamay yang mengetahui perjalanan blog saya mulai dari blog ini masih isinya cuma gambar dan miskin komentar :mrgreen:

Terima kasih banyak untuk Hani yang masih menjadi sahabat saya sampai sekarang. Yes, you’re my first friend as well…

 

*Buat Kamay dan Hani, saya nitip award ini disampaikan kepada sahabat kalian, sahabat-sahabat yang menjadi sahabat pertama kalian di dunia blog! saya yakin mereka berhak mendapatkan penghargaan.

 

 

Sahabat,

Teman-teman pertama kita di dunia maya adalah seorang teman yang memandang kita apa adanya, mengunjungi kita dengan rendah hati dan senyuman, meninggalkan komentar, pendapat dan nasihat di awal-awal kita membangun rumah kita, yang masih sangat sederhana dan apa adanya.

Kebersamaan sampai detik ini yang terjalin bersama dan kenangan-kenangan manis pahit saat kita memulai blog kita masing-masing patut diingat dan dihargai dengan sebuah award.

 

Jika sahabat ingin teman-teman pertama kita tahu betapa berharganya mereka bagi kita, silahkan bagikan award saya kali ini untuk mereka.

Saya berikan kebebasan untuk mencopy-nya dan berikan award ini kepada mereka! *gak perlu ngelink juga gak papa! 😀

 

Semoga award ini bisa memberikan manfaat untuk persahabatan kita

dan menjadi kado indah di awal tahun.

 

Happy Blogging!

 



Sejenak yang Sederhana

Sahabat,

Pagi ini tidak ada kejadian spesial di rumah saya. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Listrik sudah padam semenjak satu jam yang lalu. Laptop saya pun perlahan menunjukkan ikon low battery tanda bahwa laptop akan juga segera padam. Tidak lama akhirnya si laptop pun menghibernatekan diri.

Saya beranjak dari dalam kamar. Hmmm…sudah lama rasanya saya tidak duduk-duduk di teras rumah. Meskipun belum jenuh rasanya saya bergumul dengan laptop dan internet setiap pagi, tetapi pemadaman listrik ini membuat saya mati gaya, mau tidak mau saya cari kegiatan lain untuk sekedar mengahabiskan waktu. Setelah sekian lama tidak menikmati suasana halaman rumah, jadilah saya putuskan pergi teras di samping rumah.

 

 

Pagi ini, di luar matahari pagi sedang bersinar cerah. Hanya ada sedikit mendung di beberapa titik, tetapi tidak mengurangi birunya langit Kalimantan pagi ini. Saya duduk berselonjor pada lantai yang belapis tikar rotan. Angin berhembus sepoi-sepoi, angin kering yang khas dan sedikit hangat. Saya melihat jauh ke sekeliling, pohon berayun-ayun sesekali, burung-burung hilir mudik sambil berkicau. Pohon kelapa dan daun pisang melambai-lambai seperti sedang memanggil angin untuk datang lagi.

 

Ada aroma seperti asap dan sesekali bau kandang sapi milik tetangga jauh tercium samar-samar, hilang pergi tertiup angin. Angin juga membawa aroma kayu dan pandan wangi yang tumbuh subur di halaman. Wangi khas sebuah pedesaan.

 

Sesekali motor dan sepeda lewat di jalanan depan rumah menghasilkan bunyi raungan mesin dan derit roda. Sekawanan sapi asyik merumput jauh di sana. Adik saya dan teman-temannya asik bermain sepak bola di tanah kosong dekat halaman samping. Teriakan, sorak dan tawa bercampur dengan gemerisik bunyi daun-daun dan gesekan ilalang yang ditiup angin.

 

Saya hanya diam. Sesekali terpejam dan mengambil nafas panjang. Mencoba meresapi, menikmati dan menyatu dengan apa yang ada dengan sederhana.

 

 

Sahabat,

Sudahkan sahabat meluangkan waktu sebentar seperti yang saya lakukan?

Tanpa melakukan apa-apa, hanya duduk dan sejenak menikmati hari ini dengan sederhana.

Hari terakhir di tahun 2010.

Kadang beranjak dari segala perhelatan kerja dan keasikan dunia fana untuk menikmati alam dan segala isinya secara sederhana seperti ini,  dapat memberikan ketenangan hati, kesegaran pikiran, keinsyafan dan rasa syukur.

Meskipun itu hanya sejenak. Sejenak yang sederhana. Sejenak yang penuh arti.

***

 

Happy New Year 2011!

Semoga tahun yang baru ini memberikan semangat baru dan kesuksesan yang baru!


Happy Birthday Mom…

Esok,

Penghujung sebuah tahun yang kita lalui bersama

Tahun yang banyak kuhabiskan di dekatmu

Tahun dimana aku terdiam melalui saat terberat di hidupku

Tahun yang banyak mengajarkanku arti pelukan dan kebersamaan

 

Untuk setiap perjuangan,

Untuk setiap senyum di pagi hari,

Untuk setiap doa yang tak henti,

dan untuk setiap darah yang mengalir di tubuhku,

 

Tuhan,

Berikan dia lebih banyak kebahagiaan…

Video ini pertama saya tonton saat duduk di bangku kuliah,
saya sempat terdiam setelahnya…
Semoga bisa menjadi renungan tentang kasih Ibu sepanjang masa…

***

 

Untuk Mama tersayang,
Selamat Ulang Tahun…

(31 Desember 2010)


Trie

Puluhan tahun silam, hiduplah gadis kecil bernama Trie. Trie adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya seorang perempuan bernama Eka, kakak keduanya seorang laki-laki bernama Dwi. Ibu mereka adalah seorang pedagang, sedangkan ayahnya adalah pegawai di suatu pabrik nasional. Kehidupan mereka cukup sederhana. Mereka tinggal di rumah sederhana tempat para karyawan pabrik tinggal.

 

Trie adalah gadis manis yang murah hati dan penurut. Sebenarnya dia rajin dan cekatan dalam bekerja, hanya saja pembawaannya sebagai anak bungsu membuat dominasi Eka, kakaknya, dalam mengurus kegiatan rumah tangga, sedangkan Dwi seperti anak laki-laki lain, senang bermain di luar. Maka Trie lebih senang manghabiskan waktunya di luar bermain dengan teman-temannya.

 

Eka tipikal kakak yang galak dan pemarah. Dia senang membentak dan egois. Dia kadang berbuat tidak adil kepada Trie. Sedangkan ibu mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan. Malah cenderung tidak memperhatikan perkembangan Trie,  semua prihatian lebih tertuju kepada kakak tertua, Eka dan Dwi sebagai kakak laki-laki.

 

Jika malam tiba Trie harus berbagi kasur dengan Eka. Eka selalu tidur awal, dan memberi batas kasur dengan guling. Tentu saja bagian Trie sangat sempit, kadang Trie secara tidak sadar masuk ke wilayah tidur Eka. Itu membuat Eka geram dan menendang Trie hingga jatuh di kasur. Dari situlah Trie belajar untuk tidur dengan tenang dan tak banyak bergerak.

 

Satu kali, Trie lapar sepulang bermain dari luar, dia melihat Eka sedang mengulek sambal untuk nasi goreng. Trie mengatakan bahwa dia senang jika Eka mau berbagi dengannya, seraya ikut membereskan isi dapur. Tetapi Eka malah emosi dan menjadi galak, dia bilang Trie hanya mau enaknya saja, pulang jika hanya lapar. Tiba-tiba sambal nasi goreng itu dilumurkan ke muka Trie. Sontak Trie kaget dan menangis. Dwi datang menghibur Trie yang sedang kepedihan. Dari situlah Trie menjadi suka menahan keinginan, dan takut akan meminta. Dia akhirnya senang belajar untuk melakukannya sendiri, tanpa harus banyak bicara.

 

Trie anak yang suka menggambar. Ibunya pernah memarahinya karena pensilnya sering habis atau hilang. Cap sebagai anak boros dan ceroboh sempat melekat padanya. Selama ini Trie diam-diam menggambar pada satu kertas, kemudian menghapusnya, menggambar, menghapusnya lagi, niatnya hanya satu yaitu menghemat kertas, tetapi sayang dia tidak bisa menghemat pensilnya.

 

Ibunya mengancam tidak akan membelikannya pensil jika habis atau hilang. Sejak itu Trie hanya punya dua pensil, satu pensil tulis dan satu pensil warna merah yang dibelikan ayahnya. Satu hari, Trie kehilangan satu pensil tulisnya yang hanya tinggal sepanjang kelingking. Siang itu dia tidak berani pulang sekolah. Dari jam pulang sekolah dia terus mencari pensil kecil itu di setiap sudut kelas. Di halaman depan, kemudian di taman. Teman-temannya telah pulang dan sempat berkata untuk membeli yang baru. Uang dari mana pikirnya? Dia tidak putus asa, dia tetap mencari.

 

Sore mulai merayap. Trie masih di dalam kelas, diam-diam air matanya menetes. Dia takut kalau pulang ke rumah dan berkata pensilnya hilang, Ibunya akan memarahinya. Trie sudah berjanji akan menjaga pensil itu dan dihemat sampai tahun ajaran baru. Trie akhirnya pulang ke rumah dengan mata sembab. Dia tidak berkata-kata malam itu. Dia hanya bilang pulang bermain dan segera tidur. Lagi-lagi malam itu dia menangis tanpa suara. Iya ingat pensilnya yang hilang.

 

Pensil itu ternyata tidak hilang. Teman Trie tanpa sengaja membawa pensil itu pulang. Trie sangat bahagia menemukan pensil kecilnya. Tak henti-hentinya dia bersyukur, semenjak itu dia menghemat pensil kecil itu, berhenti menggambar dan menggunakannya benar-benar sampai tahun ajaran baru.

 

Eka terkenal sangat bandel di sekolah. Eka dan Trie disekolahkan di sekolah kejuruan untuk anak-anak putri. Guru-guru sangat benci dan dendam terhadap Eka selama ini. Saat Trie masuk sekolah itu, guru-guru kemudian dengan sengaja menghukum Trie dengan tugas berat seperti mengepel dan membersihkan kamar mandi tanpa alasan jelas. Mungkin sebagai pembalasan dendam ke Eka yang diberikan melalui Trie, adiknya. Trie yang rajin dan baik hati tidak pernah mengeluh.

 

Seringkali Eka menyuruh Trie mengerjakan tugas rumahnya seperti menggambar dan menjahit. Trie yang penurut hanya bisa mengiyakan, Trie sering mengorbankan waktu tidurnya untuk mengerjakan PR-nya sendiri dan PR Eka. Di akhir tahun Eka tidak pernah lulus dari sekolah itu, dia berhenti. Sedangkan Trie menjadi anak kesayangan guru-guru. Bahkan dia sempat mendapat beasiswa supersemar, dan direncanakan oleh sekolah untuk melanjutkan sekolah tinggi di Yogyakarta. Tetapi nasib berkata lain, Trie akhirnya memilih menikah. Impian untuk sekolah tinggi itu dia pupuskan.

 

Tahun-tahun berlalu. Hidupnya sudah lebih bahagia bersama suami dan kehadiran si kecil. Si kecil tumbuh menjadi anak yang sehat dan membanggakan.

 

Saat si kecil kehabisan pensil tulisnya, Trie membelikan dua pensil sekaligus. Trie berkata, simpan pensil satunya, siapa tahu nanti hilang.


Saat si kecil ingin menggambar, Trie membelikannya satu set pensil warna. Trie selalu mengatakan jangan pernah berhenti menggambar.


Saat si kecil ingin nasi goreng, Trie mengajaknya ikut serta memasak. Trie berkata Ayo bantu mama memasak!


Saat si kecil mendapat PR, Trie mengarahkannya untuk tekun dalam bekerja. Trie berkata kerjakan tugasmu dengan penuh kemandirian, bantu teman jika mereka membutuhkan.


Saat si kecil punya adik, Trie mengajarinya untuk berbagi dan menyayangi adik-adiknya. Trie berkata, adikmu adalah saudaramu di masa tua kelak, jangan pernah ragu untuk berbagi.


Saat si kecil kini tumbuh besar, Trie terus menyemangati untuk sekolah yang tinggi dan memberikan kebebasan mengambil keputusan.

 

Hingga Si kecil kini beranjak remaja Trie tidak pernah mengeluhkan masa kecilnya. Jika ditanya dia memilih untuk diam dan tersenyum.

 

Ibu selalu memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Jauh lebih baik dari yang kita perkirakan, jauh lebih baik dari masa kecilnya sendiri.

 

 

Teruntuk Mama tersayang, Trie Ervianti.

Selamat Hari Ibu


Bersahabat dengan Kesederhanaan

Sahabat,

 

Pertengahan tahun 2009 saya pulang kembali dari ke tanah air setelah satu tahun tinggal di Amerika. Tentu saja kondisi Indonesia sudah sedikit banyak berubah, meskipun hanya setahun, saya bisa merasakan kemajuan pesat di berbagi bidang. Begitu pula dengan gaya hidup yang semakin syarat dengan teknologi dan trend.

 

Lalu saya berpikir, apa kemajuan yang saya peroleh selama ini? Ya saya akui pengalaman bekerja dan tinggal di luar sedikit banyak menambah ilmu dan wawasan saya tentang banyak hal. Bagaimana dengan gaya hidup dan pola pikir? Hmmm..ini satu yang menarik bagi saya. Secara tidak sadar saya telah mengubah paham-paham yang memenuhi otak saya sebelum saya tinggal di luar negeri.

 

Dulu saya berpikir untuk selalu tampil wah, ingin tampil dengan “kulit” yang mentereng, mendahulukan gengsi, brand-minded, ingin dipandang tidak dengan sebelah mata, memandang orang hanya dari “kulit”nya. Sedikit banyak saya sering terlibat persaingan kurang sehat atau sikut sana-sikut sini. Intinya kesemuanya berhubungan dengan materi dan gengsi.

 

Ketika lingkungan saya menjadi semakin bergejolak dengan hal-hal di atas, saya malah banting stir dengan satu kata: kesederhanaan. Bukan karena saya tersadar mendadak, atau tiba-tiba saya dapat hidayah di sebuah pengajian, tetapi ini semua berasal hanya dari: kebiasaan. Ya, kebiasaan saya selama tinggal di luar negeri.

 

Banyak gejolak dalam diri saya sendiri saat menghadapi kondisi lingkungan di tanah air. Tidak jarang saya menjadi stres sendiri dengan segala pro-kontra dalam pikiran saya. Maju atau mundur? Iya atau tidak? Bagaimana baiknya?

 

“Prim, kayanya lu harus ganti BB deh! Biar kita bisa BBM-an, biar gaul gitu lho… “

Saya kembalikan jawabannya pada diri saya, apa yang saya lakukan jika saya berada di luar negeri ? Handphone saya di sana biasa saja, tidak perlu bermerk wah, fitur yang sesuai kebutuhan,  jauh dari yang namanya trend, dan pastinya yang murah ! saya belum butuh BB atau yang lain saat ini.

 

“Prim, baju merk X lagi diskon lho… borong yuk ! “

Saya berpikir lagi, harga baju sangat mahal di luar sana, saya bahkan tidak sempat memperhatikan brand, yang penting nyaman dan murah atau ada diskon. Orang sana juga kebanyakan tidak sibuk dengan brand dan fashion. Tidak jarang saya pergi ke toko barang second hand, hanya untuk mendapatkan barang bagus layak pakai dengan harga murah. Lagipula baju saya sudah cukup banyak. Lain kali saja.

 

“Prim, liat deh laptopnya: Apple! Keren banget ya,pasti orangnya tajir abis, bla, bla…”

Saya berpikir, saya sudah pernah menyentuh brand itu, rasanya biasa saja, tidak membuat saya mendadak menjadi pandai dan bijaksana. Tidak penting inputnya, yang terpenting adalah sebaik apa outputnya bagi orang sekitar. Sahabat, bukan saya menjelekkan produk tersebut, hanya saja saya bisa mendapat barang dengan fitur lebih baik dengan harga yang sama. Brand-minded nyatanya lebih menyusahkan buat kantong dan hati. Saya salah satu korbannya.

 

“Males deh ngomong ma dia, kampung banget, dia kan cuma kerja jadi SPG, bla, bla”

Saya berpikir, masa sih? Di luar sana, boss berbicara dengan anak buah seperti teman, hangat dan professional, jauh dari soal diskriminasi. Tidak sedikitpun terlintas apa jabatanmu? Seberapa mahal mobilmu? Toh, manusia sama, miskin kaya sama saja. Sama makan nasi dan minum air. Apa penampilan dan materi akan melahirkan kasih sayang tulus dan persahabatan? Tidak. Saya lelah dengan kesenjangan sosial yang diciptakan dengan sengaja. Tidak melahirkan apa-apa kecuali iri hati dan kesombongan. Saya jadi malah capek hati sendiri.

 

 

Sahabat,

 

Banyak hal yang kemudian saya kiblatkan pada kesederhanaan hidup yang saya alami selama tinggal di luar negeri. Kesederhanaan yang membuat saya merasa lebih nyaman, apa adanya dan tanpa kepura-puraan. Pola pikir yang banyak mengajari saya tentang hidup lebih tenang dan lapang. Membebaskan pikiran saya dari firasat dan prasangka yang membuat saya tersenyum lebih tulus dan lebih cerah.

 

Tentu tidak mudah untuk sebuah permulaan. Banyak godaan dan aral yang melintang yang membuat saya sedih dan gundah seperti contoh yang saya sebutkan di atas. Tetapi selalu focus pada tekad dan kenangan saya selama tinggal di luar negeri membuat saya semakin kuat dan kuat menjalani hidup dengan kesederhanaan. Tahun ini memang sangat sulit bagi saya dalam mengolah hati dan pola pikir, tetapi saya yakin akan lebih mudah dengan berjalannya waktu.

 

Saya bangga karena saya pernah belajar kepada sebuah kehidupan berbeda, di negeri yang berbeda, di mana saya bersahabat baik dengan kesederhanaan. Meskipun kini saya sudah jauh dari negeri itu, kesederhanaan meninggalkan jejaknya di hati saya. Dan saya berjanji akan mengenangnya terus.

 

Saya pribumi yang belajar dari sebuah perjalanan hidup di negeri orang. Bukan hanya sekedar ilmu dan pengetahuan, tetapi banyak hal yang tidak dapat dibeli dengan uang. Tuhan tidak hanya memberikan saya kesempatan luar biasa untuk tinggal ke luar negeri, tetapi  sekaligus memberikan saya kesempatan untuk belajar. Belajar hidup yang lebih baik.

 

Saya kuatkan tekad di tahun mendatang. Sadar tidak sadar, mau tidak mau, saya merasa inilah kesederhanaa yang saya inginkan, dan saya akan berjuang lebih keras untuk itu. Ada tiga poin penting yang selalu saya ingat dalam menjaga persahabatan saya dengan kesederhanaan :


  1. apakah saya sudah tulus dan apa adanya?
  2. apakah ini hanya keinginan dan gengsi atau memang kebutuhan?
  3. apakah saya menilai orang ini hanya dari penampilan dan materi semata?

 

Saya sering mempertanyakan tiga poin tersebut pada diri saya sendiri. Yup, semoga tahun depan saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang kuat dan tegas.

***

 

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Muhasabah Akhir Tahun di BlogCamp.

 


See The Sun Again…

Ini hanya sebuah syair lagu

Juga sebuah doa

Untuk saya, dan untuk orang-orang di luar sana,

Yang menunggu impian,

Yang menunggu bahagia,

Yang menunggu, melihat matahari itu lagi

Yakinlah teman,

Malam dingin selalu berganti dengan pagi yang hangat

Kebahagiaan akan datang

Dan kita akan melihat matahari itu lagi

Amin

 

Nikon D40. 1/4s. f/5.6. ISO 400

See the Sun

I’m comin’ ’round to open the blinds
You can’t hide here any longer
My God you need to rinse those puffy eyes
You can’t last here any longer

And yes they’ll ask you where you’ve been
And you’ll have to tell them again and again

*

And you probably don’t want to hear tomorrow’s another day
Well I promise you you’ll see the sun again
And you’re asking me why pain’s the only way to happiness
And I promise you you’ll see the sun again

*

Come on take my hand
We’re going for a walk, I know you can
You can wear anything as long as it’s not black
Please don’t mourn forever
She’s not coming back

Do you remember telling me you found the sweetest thing of all
You said one day this was worth dying for
So be thankful you knew her at all
But it’s no more

*

(Dido, taken from Album: Life for Rent)

 

 

Lagu Dido ini sebenarnya menceritakan tentang sahabatnya yang mengalami depresi berat akibat patah hati, di lagu ini dia memberikan semangat dan membantu sahabatnya untuk meninggalkan masa lalu yang kelam, memandang jauh ke depan, di mana akan datang harapan dan kebahagiaan yang baru.

 

>>>Download lagunya di SINI<<<<